TURKI | Priangan.com – Pada abad ke-15, Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium, menjadi pusat penting bagi dunia Kristen Timur dan Barat. Kota ini telah lama diincar oleh banyak kekuatan Muslim sejak zaman Kekhalifahan Umayyah, namun benteng pertahanannya yang kokoh selalu membuat upaya penaklukan gagal. Sultan Muhammad II, yang dikenal sebagai Al-Fatih (Sang Penakluk), adalah penguasa Kesultanan Utsmani yang berhasil menaklukkan kota ini pada tahun 1453.
Sultan Muhammad Al-Fatih lahir pada tahun 1432 di Edirne, Turki. Sejak usia muda, ia telah dibekali pendidikan agama, militer, dan strategi oleh para ulama dan panglima terbaik pada masanya. Ia memiliki cita-cita yang besar untuk menaklukkan Konstantinopel, sebuah ambisi yang juga didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW, yang memuji penaklukan kota tersebut oleh seorang pemimpin dan pasukan terbaik.
Pada usia 21 tahun, Sultan Muhammad Al-Fatih mulai mempersiapkan penaklukan Konstantinopel dengan sangat matang. Dia mengerahkan lebih dari 80 ribu pasukan dan mengembangkan strategi militer yang inovatif. Salah satu langkah terpenting adalah pembangunan Benteng Rumeli di selat Bosporus, yang memungkinkan Utsmaniyah mengendalikan jalur laut yang menjadi rute penting untuk suplai makanan dan logistik bagi Konstantinopel.
Salah satu kunci keberhasilannya adalah penggunaan meriam raksasa yang mampu menghancurkan tembok-tembok tebal kota. Meriam tersebut dirancang oleh insinyur dari Hungaria bernama Urban. Senjata ini menjadi senjata revolusioner pada zamannya dan memainkan peran penting dalam melemahkan pertahanan Konstantinopel.
Pada tanggal 6 April 1453, Al-Fatih memulai pengepungan kota Konstantinopel. Kota ini memiliki sistem pertahanan yang sangat kuat, terdiri dari tembok-tembok besar yang sudah bertahan selama ratusan tahun. Namun, Sultan Muhammad Al-Fatih tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, melainkan juga kecerdasan strategis.
Salah satu strategi cerdasnya adalah menggerakkan kapal-kapal Utsmaniyah melewati daratan, menggunakan rel kayu yang dilumuri minyak untuk melintasi Bukit Galata. Langkah ini dilakukan untuk menghindari rantai baja yang dipasang oleh Bizantium di Selat Golden Horn, dan membawa kapal-kapalnya masuk ke perairan kota. Manuver ini mengejutkan pasukan Bizantium dan menjadi titik balik dalam pengepungan.
Pada tanggal 29 Mei 1453, setelah lebih dari sebulan pengepungan, pasukan Utsmaniyah berhasil menembus tembok Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih memasuki kota tersebut dengan penuh kemenangan dan menjadikannya ibu kota baru Kesultanan Utsmani. Kota ini kemudian diubah namanya menjadi Istanbul, dan menjadi pusat peradaban Islam yang megah selama berabad-abad.
Penaklukan Konstantinopel merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah dunia. Keberhasilan ini tidak hanya menandai runtuhnya Kekaisaran Bizantium, tetapi juga membuka jalan bagi penyebaran peradaban Islam di Eropa Timur. Di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih, Istanbul berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan pendidikan yang terkenal.
Selain itu, penaklukan ini juga memberikan dampak besar terhadap hubungan antara dunia Timur dan Barat. Banyak ahli sejarah yang menganggap peristiwa ini sebagai akhir dari Abad Pertengahan dan awal dari era Renaisans di Eropa. Sultan Muhammad Al-Fatih tidak hanya diingat sebagai penakluk, tetapi juga sebagai pemimpin yang toleran terhadap berbagai agama dan budaya, yang menghormati keberagaman masyarakat di wilayah yang ditaklukkannya. (mth)