JAKARTA | Priangan.com – Di balik kemajuan pesat yang dialami Korea Selatan pada paruh kedua abad ke-20, terdapat satu sosok kontroversial yang memegang kendali atas negara tersebut selama lebih dari satu dekade: Park Chung-hee. Seorang pemimpin yang dikenal dengan tangan besinya, Park mengubah wajah Korea Selatan dengan cara yang sangat mirip dengan Napoleon Bonaparte, sang jenderal legendaris dari Prancis, yang juga terkenal dengan ambisi dan kekuasaannya yang luar biasa.
Park Chung-hee lahir pada tahun 1917 di sebuah desa kecil di Korea yang saat itu masih berada di bawah penjajahan Jepang. Karier militer Park dimulai pada masa penjajahan Jepang, di mana ia bergabung dengan Tentara Kekaisaran Jepang pada tahun 1939. Setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II, Park kembali ke Korea, yang kini berada di bawah kendali Amerika Serikat.
Pada tahun 1961, Park mengambil alih kekuasaan dalam sebuah kudeta militer, menggulingkan pemerintahan yang sebelumnya dipimpin oleh Presiden Yun Posun. Ia kemudian menjadi Presiden Korea Selatan yang ke-5. Seperti Napoleon, yang mengambil alih Prancis melalui kudeta militer, Park menggunakan ketegasan dan kontrol yang kuat untuk mempertahankan dan mengonsolidasikan kekuasaannya.
Di bawah kepemimpinan Park, Korea Selatan mengalami transformasi luar biasa dari negara yang hancur akibat Perang Korea menjadi salah satu ekonomi terbesar di Asia. Dengan slogan “Kemajuan Nasional,” Park menerapkan serangkaian kebijakan yang fokus pada industrialisasi dan modernisasi.
Program besar yang dikenal dengan “Five-Year Plans” bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat, memperkenalkan reformasi besar di sektor industri, serta membangun infrastruktur yang penting bagi pembangunan negara.
Kebijakan Park mirip dengan Napoleon yang membangun Prancis dengan berbagai reformasi, termasuk infrastruktur, hukum, dan administrasi negara. Park memperkenalkan proyek besar untuk membangun kawasan industri, yang dikenal dengan nama “Korean Miracle.”
Pembangunan kota-kota besar dan penekanan pada pendidikan serta pengembangan teknologi membawa Korea Selatan ke jalur kemajuan ekonomi yang luar biasa dalam waktu singkat.
Namun, seperti halnya Napoleon, Park Chung-hee juga dikenal karena sifat otoriternya. Ia memerintah dengan tangan besi, membatasi kebebasan politik, dan menekan oposisi. Konstitusi yang sebelumnya mengizinkan pemilihan umum diganti dengan sistem yang memberinya kekuasaan absolut.
Ia menanggalkan kebebasan pers dan menindak keras protes dari rakyat. Pada tahun 1972, ia memanfaatkan keadaan darurat untuk mengubah konstitusi, memperpanjang masa jabatannya, dan memperkuat kontrolnya atas negara.
Dalam hal ini, Park menunjukkan sisi gelap dari kepemimpinannya, mirip dengan Napoleon yang meskipun dihormati sebagai pemimpin militer yang brilian, juga dikenal karena kebijakan otoriternya yang membawa ketegangan politik dalam negaranya. Penggunaan kekerasan untuk mengendalikan rakyat dan menghilangkan oposisi adalah bagian integral dari cara Park mempertahankan posisinya sebagai penguasa.
Kepemimpinan Park Chung-hee meninggalkan warisan yang sangat ambigu. Di satu sisi, ia dipandang sebagai arsitek dari transformasi Korea Selatan menjadi negara industri yang maju. Di sisi lain, pemerintahannya yang otoriter dan pelanggaran hak asasi manusia menodai pencapaiannya tersebut. Pembunuhan dan penahanan para pembangkang politik, serta pengekangan kebebasan berbicara dan berpendapat, menjadi catatan kelam dalam sejarah kepemimpinannya.
Namun, seperti halnya Napoleon yang tetap dihormati karena warisannya dalam bidang militer dan administrasi negara, Park tetap dianggap oleh sebagian besar orang Korea Selatan sebagai pahlawan yang membawa negara ini ke masa depan yang lebih baik. Keberhasilannya dalam meningkatkan ekonomi Korea Selatan masih dihargai hingga saat ini, meskipun harga yang harus dibayar sangat tinggi.
Park Chung-hee, seperti Napoleon, adalah sosok yang sangat kompleks. Ia adalah seorang pemimpin yang membawa perubahan besar dengan keberanian dan tekad, namun juga dengan cara yang sangat keras dan kontroversial. Sebagai “Napoleon dari Korea Selatan,” ia meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah negara tersebut, baik melalui kemajuan ekonomi yang luar biasa maupun melalui metode pemerintahan yang menekan kebebasan politik.
Sejarah akan selalu mencatatnya sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah Korea Selatan, tetapi seperti halnya Napoleon, warisannya akan selalu terikat dengan perdebatan antara pencapaian luar biasa dan tindakan otoriter yang keras. (mth)