TASIKMALAYA | Priangan.com — Ribuan kios di lima pasar tradisional milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya ternyata beroperasi tanpa izin resmi. Ironisnya, meski tak mengantongi Surat Izin Hak Guna Pakai (SIHGP), pungutan retribusi tetap berjalan setiap hari.
Data Komisi II DPRD Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan, dari total 2.426 kios yang tersebar di Pasar Singaparna, Manonjaya, Ciawi, Taraju, dan Cikatomas, hanya 109 kios yang memiliki izin. Artinya, lebih dari 95 persen pedagang berjualan tanpa dasar hukum yang sah.
“Dari ribuan kios, hanya 109 yang berizin. Ini bukti bahwa pengelolaan pasar kita tidak tertib dan tidak terpantau dengan baik,” ungkap Wakil Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Dani Fardian kepada wartawan, Senin (27/10/2025).
Menurutnya, temuan ini bukan sekadar masalah administratif, tapi juga mencerminkan lemahnya manajemen aset daerah yang seharusnya menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Kalau kios tidak berizin tapi tetap dipungut retribusi, lalu ke mana uangnya tercatat?” kata Dani menegaskan.
Ia mencontohkan, di Pasar Singaparna yang memiliki 1.134 kios, tak satu pun tercatat memiliki SIHGP. Begitu pula di Taraju. Sementara di Ciawi hanya 54 kios berizin, Manonjaya 52 kios, dan Cikatomas 3 kios.
Meski begitu, Dani mengaku mendapat informasi bahwa sebagian pedagang di Pasar Singaparna mulai mengurus izin secara bertahap. “Ada sekitar 227 kios yang sedang memproses SIHGP. Kami akan cek ke lapangan apakah prosesnya berjalan benar,” ujarnya.
Dani menegaskan, sesuai Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 41 Tahun 2014, setiap pedagang yang menempati kios milik Pemkab wajib memiliki SIHGP sebagai bukti sah hak guna pakai. Tanpa izin itu, posisi pedagang lemah secara hukum dan pendapatan dari retribusi mereka berpotensi tidak tercatat resmi.
“Padahal, syaratnya sederhana. Cukup aktif berjualan, memiliki SKRD, dan mengurus izin. Tak ada pungutan biaya sama sekali. Tapi anehnya, masih banyak pedagang yang dibiarkan tanpa legalitas,” tuturnya.
Lebih jauh, DPRD juga menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan pasar. Dari data terakhir, saldo piutang retribusi mencapai Rp917 juta, sementara piutang berdasarkan SKRD tercatat Rp2,1 miliar. Selisih sekitar Rp1,2 miliar belum jelas status penerimaannya.
“Selisih ini bukan angka kecil. Ada potensi PAD yang tidak tergarap atau bahkan bocor karena data retribusi dan izin tidak sinkron,” tegas Dani.
Ia menambahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelumnya sudah merekomendasikan agar Dinas Perdagangan segera menetapkan SKRD berdasarkan data aktual pedagang di lapangan. Namun, hingga kini pembenahan belum terlihat signifikan.
“Kalau terus dibiarkan, sistem pengelolaan pasar kita seperti jalan tanpa rambu. Retribusi tetap dipungut, tapi landasan hukumnya kabur. Ini harus segera dibenahi,” ucapnya.
Dani menutup dengan pesan tegas bahwa pengurusan izin SIHGP tidak dipungut biaya alias gratis. Ia mendorong UPTD Pasar lebih proaktif mendata dan menyosialisasikan aturan ini.
“Pemkab harus hadir, bukan sekadar menarik retribusi. Legalisasi kios ini soal kemandirian PAD dan ketertiban aset daerah,” pungkasnya. (yna)

















