TASIKMALAYA | Priangan.com — Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, melontarkan kritik tajam terhadap gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Dalam sebuah pernyataan usai rapat konsolidasi PDI Perjuangan di Kota Tasikmalaya, Kamis (12/6/2025), Ono menyebut Dedi lebih sibuk membangun citra di media sosial ketimbang merancang solusi konkret bagi permasalahan masyarakat Jawa Barat.
Ono menyebut ada tiga jurus utama Dedi Mulyadi dalam memimpin Jawa Barat: membangun pencitraan lewat media sosial, mengambil kebijakan secara sepihak tanpa komunikasi politik, dan kerap mengabaikan regulasi yang berlaku.
“Gaya kepemimpinannya seolah berlandaskan media sosial. Semua dibuat dramatis, padahal realita di lapangan tidak ditangani secara menyeluruh. Banyak kebijakan diputus sendiri, tanpa melibatkan DPRD,” ujar Ono dalam wawancara dengan Priangan.com, Kamis malam (12/6/2025).
Salah satu kebijakan Dedi yang paling disorot Ono adalah program penempatan siswa yang dianggap bermasalah ke barak-barak militer. Menurut Ono, program itu tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan melanggar sejumlah peraturan nasional maupun daerah.
“Itu bentuk pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak, UU HAM, UU Sisdiknas, bahkan Perda dan Pergub sendiri tentang pendidikan khusus. Tidak bisa seenaknya begitu, hanya karena ingin memberi kesan tegas di publik,” tegas Ono yang juga menjabat Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat.
Ia menilai program tersebut tidak melalui mekanisme kajian dan konsultasi yang layak, termasuk dengan lembaga legislatif sebagai mitra pengawasan pemerintah daerah.
Ono juga mengungkap bahwa DPRD Jawa Barat tidak pernah dilibatkan secara penuh dalam sejumlah keputusan penting, termasuk saat Gubernur mengubah struktur APBD 2025 maupun saat melakukan pembongkaran bangunan liar.
“Kami sering tidak dilibatkan. Misalnya saat APBD 2025 diubah, atau waktu bangunan-bangunan warga dibongkar, masyarakat justru mengadu ke kami di DPRD. Artinya, komunikasi eksekutif dan legislatif tidak jalan,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya komunikasi lintas lembaga, karena kebijakan daerah seharusnya dihasilkan dari musyawarah bersama, bukan keputusan sepihak yang berpotensi menyengsarakan masyarakat.
Menurut Ono, kecenderungan Dedi Mulyadi lebih senang memproduksi konten di media sosial ketimbang duduk bersama untuk memecahkan masalah mendasar masyarakat. Ia menyebutkan, Dedi Mulyadi kini lebih dikenal publik bukan karena kinerjanya sebagai gubernur, tetapi karena tiga hal: konten dramatik, aksi pembongkaran, dan narasi populis.
“Masyarakat melihat tiga hal dari Dedi: tampil heroik di medsos, bongkar bangunan, dan pesan moral populis. Tapi substansi persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, dan pendidikan belum tersentuh serius,” katanya.
Ia menambahkan, keberadaan gubernur seharusnya dirasakan masyarakat secara nyata melalui peningkatan kualitas hidup, bukan sekadar sebagai figur viral di dunia maya.
Terkait anggapan bahwa dirinya memusuhi Dedi Mulyadi, Ono menepis hal itu. Ia menegaskan bahwa kritik yang ia sampaikan merupakan bagian dari fungsi kontrol dan pengawasan legislatif, bukan bentuk permusuhan pribadi.
“Saya bukan memusuhi Dedi Mulyadi. Tapi saya menjalankan tugas pengawasan sebagai anggota DPRD. Kalau ada kebijakan yang melanggar atau merugikan rakyat, ya wajib dikritisi,” tegasnya.
Ono berharap ke depan, Gubernur Jawa Barat bisa membuka ruang komunikasi yang lebih terbuka dan transparan dengan DPRD. Menurutnya, jika kemitraan eksekutif dan legislatif diperkuat, maka berbagai permasalahan di masyarakat bisa ditangani secara terarah dan menyeluruh. (yna)