Negosiasi, Bom, Ulang Lagi: Iran dan Amerika dalam Skenario yang Sama

JAKARTA | Priangan.com – Serangan udara besar-besaran yang dilakukan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran pada Juli 2025 bukanlah awal dari permusuhan terbuka antara kedua negara. Justru sebaliknya, ini adalah babak terbaru dari kisah panjang ketegangan yang sudah mengakar selama lebih dari tujuh dekade. Di balik manuver militer, sanksi ekonomi, dan negosiasi yang sering kandas, terdapat pola sejarah yang berulang, dari intervensi, perlawanan, dan siklus konflik yang terus mewarisi ketidakpercayaan generasi demi generasi.

Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat yang terjadi saat ini sebenarnya bukan hal baru. Serangan udara Amerika hanyalah bagian terbaru dari konflik panjang yang sudah berlangsung sejak pertengahan abad ke-20.

Sejak awal, hubungan kedua negara ini memang dipenuhi kecurigaan, campur tangan politik, dan aksi saling balas yang tidak pernah benar-benar berhenti.

Titik awal masalah ini terjadi pada tahun 1953, ketika pemerintah Amerika Serikat bersama Inggris terlibat langsung dalam menggulingkan Perdana Menteri Iran yang saat itu terpilih secara demokratis, Mohammad Mosaddegh. Mosaddegh mengambil langkah berani yang mengejutkan negara-negara Barat dengan menasionalisasi industri minyak Iran yang selama puluhan tahun dikuasai oleh perusahaan minyak Inggris, Anglo-Iranian Oil Company atau sekarang dikenal sebagai BP. Langkah ini dimaksudkan untuk mengembalikan kendali kekayaan alam negara kepada rakyat Iran, tetapi membuat Inggris dan sekutunya marah besar.

Tak hanya kehilangan keuntungan, Inggris juga khawatir negara-negara lain akan mengikuti langkah Iran. Mereka lalu mencari dukungan dari Amerika Serikat.

Mereka melakukan penyebaran propaganda, pemanfaatan militer, hingga memicu kerusuhan di jalan-jalan kota, hingga akhirnya, Mosaddegh digulingkan, dan kekuasaan dikembalikan kepada Shah Mohammad Reza Pahlavi, seorang raja yang pro-Barat yang juga bersedia membuka kembali akses minyak untuk perusahaan asing.

Lihat Juga :  Dewi Dja, Sang Seniman yang Mengangkat Suara Indonesia di Panggung Dunia

Sejak saat itu, Shah memerintah dengan dukungan kuat dari AS, baik secara politik, ekonomi, maupun militer.

Namun, di dalam negeri, banyak rakyat Iran tidak puas. Pemerintah Shah dianggap semakin otoriter, dan kehidupan politik menjadi sangat tertutup. Campur tangan asing serta ketimpangan sosial-ekonomi yang makin terasa membuat ketegangan terus tumbuh dan benih-benih revolusi mulai tersebar di kalangan masyarakat.

Ketidakpuasan rakyat akhirnya meledak menjadi Revolusi Islam tahun 1979. Shah melarikan diri, dan ulama besar Ayatollah Ruhollah Khomeini mengambil alih kekuasaan. Sejak saat itu, Iran berubah menjadi negara republik Islam dan hubungan dengan Amerika langsung memburuk. Di tahun yang sama, sekelompok mahasiswa Iran menyandera 52 diplomat AS di Teheran selama lebih dari setahun. Sejak itu, hubungan diplomatik kedua negara terputus.

Ketegangan makin memanas ketika Iran terlibat perang melawan Irak pada 1980. Amerika justru memilih mendukung Irak dalam perang itu, walaupun Irak menggunakan senjata kimia yang mematikan.

Lihat Juga :  Kerajaan Sunda Padjadjaran Runtuh

Tidak berhenti di sana, pada tahun 1988, sebuah kapal perang AS menembak jatuh pesawat penumpang Iran yang sedang terbang ke Dubai. Semua penumpangnya tewas. Meski mengaku itu kesalahan, AS tidak pernah benar-benar meminta maaf.

Tahun-tahun berikutnya diwarnai sanksi ekonomi dari AS kepada Iran, terutama karena dugaan bahwa Iran mendukung kelompok bersenjata dan sedang mengembangkan senjata nuklir. Iran sempat membuka diri untuk bernegosiasi, hingga pada 2015, tercapailah kesepakatan nuklir yang dikenal dengan nama JCPOA. Kesepakatan ini membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Namun, harapan itu pupus saat Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan itu pada 2018 dan kembali memberi tekanan keras pada Iran.

Lihat Juga :  Djamaluddin Malik: Bapak Industri Film Tanah Air

Hubungan keduanya kembali memanas pada awal 2020 ketika AS membunuh jenderal tinggi Iran, Qassem Soleimani. Iran membalas dengan menyerang pangkalan militer AS di Irak. Sejak saat itu, ketegangan kembali naik dan berbagai insiden lain terus terjadi, mulai dari serangan siber, serangan ke kapal-kapal di Teluk, hingga penambahan jumlah uranium yang diperkaya oleh Iran.

Di tahun 2025, muncul lagi harapan ketika pembicaraan informal dimulai di Oman dan Italia untuk mencari kesepakatan baru. Presiden Trump bahkan mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran dan memberi tenggat waktu 60 hari untuk mencapai kesepakatan.

Tapi Iran menolak tuntutan AS yang dianggap terlalu memaksa. Di tengah pembicaraan itu, Israel menyerang Iran, menuduh negara tersebut masih mengembangkan senjata nuklir. Sehari setelah serangan itu, AS ikut turun tangan dengan membombardir tiga fasilitas nuklir Iran.

Jika dilihat dari sejarahnya, konflik antara Iran dan Amerika tidak pernah benar-benar selesai. Setiap upaya damai selalu dibayangi oleh peristiwa-peristiwa masa lalu yang penuh ketegangan. Apa yang terjadi sekarang bukan kejutan, melainkan lanjutan dari hubungan yang sejak dulu sudah retak. Pertanyaannya sekarang, apakah kedua negara bisa keluar dari lingkaran konflik ini? Atau justru akan terus mengulang pola yang sama di masa depan? (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos