CIAMIS | Priangan.com – Fenomena pencabulan terhadap anak di Kabupaten Ciamis menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Kapolres Ciamis, AKBP Akmal, menyebutnya sebagai “fenomena gunung es” – tampak kecil di permukaan, namun menyimpan bahaya yang jauh lebih besar di bawahnya.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin, 26 Mei 2025, di Aula Pesat Gatra Polres Ciamis, AKBP Akmal mengungkap dua kasus terbaru yang mempertegas darurat perlindungan anak di daerah ini.
“Kami baru saja menangani dua kasus di Kecamatan Baregbeg dan Pamarican, melibatkan ayah tiri dan ayah kandung sebagai pelaku,” ujar Kapolres.
Kasus pertama terjadi di Baregbeg. Seorang pria berinisial MAM diduga mencabuli anak tirinya, serta seorang teman korban.
Tragisnya, anak tiri pelaku ternyata dalam kondisi hamil—meskipun hasil penyelidikan menunjukkan bahwa kehamilan tersebut bukan akibat perbuatan ayah tirinya, melainkan hubungan dengan pacarnya.
“Pengakuan korban, tindakan pelaku berupa perabaan yang melecehkan,” kata Akmal.
Kasus kedua lebih memilukan: seorang ayah kandung di Pamarican mencabuli anaknya sendiri yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kedua pelaku kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan mendekam di tahanan.
Kepolisian menjerat pelaku dengan Pasal 82 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Hukuman yang menanti sangat berat: penjara antara 5 hingga 15 tahun serta denda maksimal Rp5 miliar.
Namun, lebih dari sekadar penegakan hukum, Kapolres menekankan perlunya kesadaran kolektif untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual terhadap anak.
“Ini bukan semata tugas kepolisian. Ini pekerjaan rumah kita bersama—pendidik, tokoh agama, aparat desa, hingga orang tua. Semua harus hadir melindungi anak-anak kita,” tegasnya.
Akmal juga menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam melaporkan kejadian.
“Kami memahami bahwa kasus seperti ini sering dianggap sebagai aib keluarga. Tapi dengan diam, kita justru memberi ruang bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya.
Fenomena kekerasan seksual pada anak sering kali tersembunyi karena korban merasa takut, terintimidasi, atau tidak tahu cara melapor.
Penting bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan suportif, agar anak-anak merasa nyaman berbicara dan dilindungi.
Perlu juga edukasi dini soal tubuh dan batasan, yang diajarkan secara bijak di lingkungan keluarga dan sekolah. (yna)