BOSTON | Priangan.com – Perbudakan pernah menjadi luka mendalam dalam sejarah Amerika Serikat, membelenggu jutaan orang dan menciptakan ketidakadilan yang berlangsung selama berabad-abad. Namun, di tengah kegelapan ini, muncul individu-individu yang berani menentangnya, meskipun harus menghadapi ancaman dan kekerasan. Salah satu tokoh penting dalam perjuangan ini adalah Maria Weston Chapman, seorang perempuan yang dengan keteguhan hati, pena, dan aksi nyata berjuang menghapus perbudakan.
Pada usia 24 tahun, Maria menikah dengan Henry Grafton Chapman, putra seorang pedagang kaya. Bersama suaminya, ia terlibat dalam gerakan anti-perbudakan. Ayah mertua Maria juga menentang perdagangan kapas yang menguntungkan karena berkaitan dengan perbudakan. Awalnya, Maria mendukung gerakan ini melalui suaminya, tetapi kemudian ia menjadi pemimpin dalam perjuangan tersebut.
Maria mengajak ketiga saudarinya, yaitu Caroline, Anne, dan Deborah, untuk turut serta dalam gerakan ini. Pada tahun 1834, mereka bersama delapan perempuan lainnya mendirikan Boston Female Anti-Slavery Society, sebuah organisasi yang memperjuangkan penghapusan perbudakan dan hak-hak orang kulit hitam. Mereka mengedarkan petisi, mengumpulkan dana, dan menerbitkan tulisan-tulisan yang mengajak orang lain untuk bergabung dalam perjuangan mereka.
Kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengumpulkan dana, tetapi juga menyebarkan kesadaran tentang pentingnya penghapusan perbudakan. Maria juga menyunting dan menerbitkan berbagai tulisan anti-perbudakan, termasuk Liberty Bell, yang dikelolanya bersama saudari-saudarinya.
Pada Oktober 1835, aktivis Inggris George Thompson datang ke Boston untuk berbicara dalam pertemuan Boston Female Anti-Slavery Society di kantor surat kabar The Liberator. Hal ini membuat marah sekelompok pengusaha yang terlibat dalam industri kapas.
Massa berkumpul di luar gedung, dan wali kota Boston meminta para perempuan untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, Maria dengan tegas menolak dan berkata bahwa jika kebebasan harus dipertahankan di sana, maka lebih baik mereka mati di tempat itu. Para perempuan akhirnya melanjutkan pertemuan mereka di rumah keluarga Chapman.
Kerusuhan pun pecah. William Lloyd Garrison, seorang jurnalis dan aktivis abolisionis yang mendirikan surat kabar The Liberator, diserang oleh massa dan diseret di jalanan Boston dengan tali karena keberaniannya dalam mengadvokasi penghapusan perbudakan. Beruntung, wali kota berhasil menyelamatkannya dan menahannya di penjara demi keselamatannya.
Insiden ini menunjukkan betapa perbudakan memecah belah masyarakat saat itu. Beberapa surat kabar membenarkan kekerasan tersebut, sementara yang lain mengecam tindakan massa.
Pada tahun 1839, Maria Chapman, Lucretia Mott, dan Lydia Maria Child terpilih sebagai anggota komite eksekutif American Anti-Slavery Society. Banyak anggota laki-laki menolak keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan organisasi, termasuk presiden organisasi, Lewis Tappan. Namun, tokoh-tokoh seperti William Lloyd Garrison, Theodore Weld, Wendell Phillips, dan Frederick Douglass memberikan dukungan penuh terhadap peran perempuan dalam perjuangan ini.
Setelah kepergian suaminya pada tahun 1842, Maria membawa anak-anaknya ke Eropa pada tahun 1848 untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Selama di Eropa, ia tetap aktif dalam gerakan anti-perbudakan dan menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh seperti Harriet Martineau di Inggris. Ia juga mengirim barang-barang dari Eropa untuk dijual di Boston Anti-Slavery Fair guna mengumpulkan dana bagi perjuangan di Amerika.
Pada tahun 1855, Maria kembali ke Weymouth, Massachusetts, tempat kelahirannya. Ketika Perang Saudara Amerika pecah, ia dan saudari-saudarinya tetap berkontribusi dalam perjuangan mereka.
Setelah Presiden Abraham Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi pada tahun 1863, Maria dan William Lloyd Garrison membubarkan organisasi anti-perbudakan mereka karena merasa perjuangan utama telah tercapai. Setelah itu, Maria mengabdikan waktunya untuk membantu mantan budak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik.
Maria Weston Chapman meninggal pada 12 Juli 1885 akibat penyakit jantung pada usia 78 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman keluarga di Weymouth, bersama saudari-saudarinya yang telah menjadi bagian dari sejarah perjuangan menghapus perbudakan di Amerika Serikat.
Perjuangan Maria Weston Chapman dan saudari-saudarinya menunjukkan bahwa perubahan besar tidak hanya datang dari medan perang atau kekuatan politik, tetapi juga dari keberanian, keteguhan, dan dedikasi individu.
Dengan pena dan perlawanan damai, mereka membuktikan bahwa ketidakadilan bisa dilawan, dan suara perempuan memiliki peran penting dalam perjuangan hak asasi manusia. Warisan mereka tetap hidup dalam sejarah, menginspirasi generasi selanjutnya untuk terus memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan bagi semua orang. (Lsa)