TOKYO | Priangan.com – Akhir tahun 1915 nampaknya menjadi masa paling kelam bagi masyarakat di desa Sankebetsu Rokusensawa, Hokkaido, Jepang. Pasalnya, desa terpencil yang dikelilingi hutan lebat itu tiba-tiba dihantui oleh serangan seekor beruang cokelat besar yang kelaparan setelah melewati masa hibernasi.
Teror dimulai sejak awal Desember 1915. Seekor beruang cokelat Ezo, tiba-tiba muncul di tengah pemukiman warga. Beruang besar itu diduga kelaparan usai menjalani masa hibernasinya. Para penduduk desa yang mayoritas bermata pencaharian sebagai seorang petani, awalnya tidak menyadari kehadiran beruang tersebut.
Mereka baru sadar ketika beruang itu mulai mencoba melancarkan serangan pertamanya ke rumah salah seorang warga bernama Ikeda. Untung saja, pada saat itu, Ikeda tidak sampai terkena serangan.
Ia yang sadar akan eksistensi seekor beruang di rumahnya, langsung memberi tahu warga lain. Beruang itu pun diusir. Ia ditembak dan terluka. Sayangnya, luka tembakan itu tak berhasil melumpuhkan beruang tersebut. Alih-alih mati, ia malah berhasil lari ke dalam hutan.
Mulanya masyarakat beranggapan kalau tembakan tersebut akan membuat beruang besar itu jera dan tak lagi berani masuk ke pemukiman warga. Namun, anggapan itu seketika terbantahkan ketika hewan berbulu coklat ini kembali beberapa hari berikutnya.
Kali ini, rumah yang diserang adalah rumah keluarga Abe Mayu. Seorang ibu yang hidup bersama anak tunggalnya bernama Mikio. Dalam serangan itu, beruang liar tersebut berhasil membunuh Mikio tepat di hadapan ibunya.
Meski tak kuasa melihat anaknya dimangsa beruang, sang Ibu tak mampu berbuat banyak. Ia pun memutuskan untuk lari. Sayang, beruang yang masih merasakan lapar itu akhirnya berhasil menangkap Mayu dan menyeretnya ke dalam hutan.
Adanya serangkaian serangan ini pun mulai membuat warga di desa Sankebetsu mulai panik. Mereka didera rasa ketakutan. Khawatir akan serangan susulan datang kapan saja. Mereka menyadari, serangan itu tidak bisa dianggap sebagai serangan biasa. Nyawa taruhannya.
Sebagai bentuk respons cepat, tetua di desa itu pun akhirnya menyarankan untuk membentuk sebuah tim khusus yang terdiri dari para pria. Mereka ditugaskan untuk mencari beruang dan mencegahnya memasuki desa agar tidak ada korban lain.
Mulanya, pembentukan tim khusus tersebut hampir sia-sia. Pasalnya, beruang ganas itu kembali memasuki desa alih-alih berhasil di cegar di perbatasan hutan. Dalam peristiwa serangan ketiga kali ini, beruang cokelat itu menyerang rumah keluarga Yasutaro yang menjadi tempat berlindung warga lainnya. Pada malam kejadian, Istri Yasutaro, hampir saja menjadi korban kalau-kalau para penjaga dari tim khusus itu tidak datang tepat waktu dan mengalihkan perhatian beruang.
Terornya di desa ini, kembali terjadi beberapa hari berikutnya. Dalam kesempatan kali ini, beruang itu berhasil menyerang dua anak laki-laki serta seorang wanita yang tengah hami. Diceritakan, sebelum sang beruang menelan mangsanya, wanita hamil itu sempat memohon agar tidak diserang, namun permohonan itu tidak diamini. Dengan ganas, beruang itu mencabik wanita tersebut sebelum akhirnya memakan kepalanya.
Menyadari betapa berbahayanya situasi dari hari ke hari, enam pemburu dipanggil dari kota terdekat, Hoboro. Mereka kemudian merancang strategi untuk memancing beruang keluar dari persembunyiannya dengan menggunakan mayat para korban sebagai umpan.
Tepat pada tanggal 14 Desember, mereka akhirnya berhasil menemukan beruang itu di hutan. Satu dari enam pemburu itu pun berhasil melumpuhkan beruang tersebut dengan tembakan tepat di jantung dan kepala.
Walhasil, beruang yang berumur sekitar tujuh hingga delapan tahun dan memiliki panjang tubuh lebih dari 2,7 meter serta berat sekitar 340 kilogram itu tewas. Setelah dibedah, warga bersama para pemburu menemukan sisa-sisa bagian tubuh manusia yang belum tercerna di dalam perutnya. (ersuwa)