JAKARTA | Priangan.com – Setiap pagi selama 26 tahun terakhir, Michael Boyer menghidupkan kembali kisah legendaris yang telah menghiasi kota Hamelin selama berabad-abad. Mengenakan celana ketat neon dan jubah merah cerah, Boyer berjalan melalui jalan-jalan abad pertengahan yang penuh sejarah, memainkan serulingnya, dan menyambut wisatawan sebagai “Pied Piper” (Peniup Seruling) yang terhormat. Bagi banyak orang, ia hanyalah sebuah tokoh atraksi turis, namun di Hamelin, kisah ini mengandung lebih dari sekadar hiburan.
Kisah Pied Piper, yang berakar dari cerita rakyat abad pertengahan, terkenal karena penggambaran sang peniup seruling yang membersihkan kota Hamelin dari wabah tikus dengan daya hipnotis musiknya. Namun, ketika kota itu mengingkari janji pembayaran, Piper yang sebelumnya menjadi penyelamat, berbalik menjadi pembalas dendam. Ia memimpin anak-anak Hamelin keluar kota, menghilang bersama mereka tanpa jejak.
Legenda ini telah menginspirasi karya sastra terkenal oleh penulis seperti Goethe, Grimm Brothers, dan Robert Browning, namun di balik cerita yang telah dibentuk menjadi karya seni, ada sebuah pertanyaan besar yang masih belum terpecahkan: Apa yang sebenarnya terjadi pada 130 anak-anak Hamelin pada tanggal 26 Juni 1284?
Bukti yang ada mengisyaratkan bahwa kisah ini bukanlah sekadar dongeng belaka. Di kota Hamelin, sebuah prasasti di fasad rumah Pied Piper, yang dibangun pada tahun 1602, mengabadikan peristiwa yang tercatat dalam sejarah: “Pada 26 Juni 1284, 130 anak yang lahir di Hamelin dibawa keluar kota oleh seorang peniup seruling yang mengenakan pakaian warna-warni.”
Ini bukan satu-satunya bukti sejarah. Catatan kota Hamelin dari tahun 1384 juga merujuk pada “100 tahun sejak anak-anak kita pergi.” Bahkan, kaca patri di gereja St. Nicolai menggambarkan sosok Peniup Seruling yang memimpin anak-anak menuju nasib misterius mereka.
Namun, meskipun dokumentasi sejarah ini ada, jawabannya tetap kabur. Banyak teori yang mencoba menjelaskan hilangnya anak-anak tersebut. Beberapa sejarawan menganggapnya sebagai bagian dari migrasi besar orang Jerman ke Eropa Timur, yang dipicu oleh depresi ekonomi.
Dalam teori ini, Piper berfungsi sebagai perekrut yang mengenakan pakaian warna-warni untuk menarik perhatian para pemuda yang ingin pindah. Wilayah sekitar Berlin, yang baru dibebaskan dari Denmark, sering disebut sebagai tujuan migrasi yang mungkin.
Namun, tidak semua teori berfokus pada migrasi. Ada yang menghubungkan kisah ini dengan fenomena abad pertengahan yang dikenal sebagai “mania menari.” Dalam kejadian ini, orang-orang akan tertular keinginan tak terkontrol untuk menari tanpa henti, kadang-kadang hingga kelelahan fatal.
Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-13, ada sebuah wabah tarian di Erfurt, di mana sekelompok pemuda menari selama berjam-jam sebelum meninggal. Beberapa percaya bahwa fenomena serupa mungkin terjadi di Hamelin, dengan anak-anak yang mengikuti Piper, terpengaruh oleh kekuatan hipnotis dari musiknya hingga terlibat dalam histeria massal.
Namun, di balik semua teori ini, ada satu pembacaan yang lebih gelap dan menggugah hati. Mengingat tanggal 26 Juni bertepatan dengan perayaan pertengahan musim panas pagan, beberapa sejarawan menyarankan bahwa Piper mungkin bukan hanya seorang peniup seruling biasa. Ia bisa saja merupakan seorang dukun atau pemimpin spiritual dari sebuah faksi pagan yang memimpin anak-anak Hamelin menuju perayaan ritual.
Namun, di tengah perjalanan mereka, mereka disergap oleh kelompok Kristen yang berusaha memperkuat pengaruh agama mereka, mengarah pada kemungkinan pembantaian yang disembunyikan oleh para pejabat kota.
Meski banyak teori yang berputar di sekitar kisah ini, satu hal yang pasti: legenda Pied Piper bukan hanya tentang hilangnya anak-anak Hamelin. Ini adalah cerita yang mengandung elemen-elemen ketakutan manusia yang paling mendalam: kehilangan anak, ancaman terhadap komunitas, dan rasa trauma yang terus dihantui oleh ingatan kolektif.
Di Hamelin, kisah ini terus hidup, bukan hanya sebagai cerita masa lalu, tetapi juga sebagai cermin dari ketakutan dan harapan yang tetap relevan hingga kini.
Lebih dari sekadar sebuah cerita, kisah Pied Piper adalah warisan budaya yang menghubungkan banyak orang. Dalam pameran yang diselenggarakan di Museum Hameln, sejarawan Wibke Reimer mencatat bahwa legenda ini telah dikenal di lebih dari 40 negara dan dalam lebih dari 30 bahasa. Dari seni hingga sastra, dari musik hingga pertunjukan, kisah ini terus menginspirasi generasi baru, mengingatkan kita bahwa meskipun kisahnya mungkin berakar dalam misteri yang belum terpecahkan, Pied Piper telah berhasil menyatukan berbagai komunitas melalui cerita yang melampaui batas waktu dan ruang.
Pada akhirnya, apakah Pied Piper adalah sosok jahat atau pahlawan, itu tergantung pada bagaimana kita memandangnya—sebuah alegori tentang janji yang tidak dipenuhi, atau sebuah kisah yang mengingatkan kita tentang ketidakpastian dan tragedi yang mungkin ada di balik sejarah yang terlupakan. Sebuah hal yang pasti, legenda Pied Piper terus menjadi bagian penting dari warisan budaya global yang tidak akan lekang oleh waktu. (mth)