JAKARTA | Priangan.com – Dua dasawarsa silam atau sekitar tahun 1990-an, para orang tua di Jakarta pernah dibuat was-was. Itu karena maraknya aksi pedofilia yang dilakukan secara misterius. Anak-anak di bawah umur, jadi sasaran pelampiasan nafsu bejat pelaku. Tak hanya itu, mereka juga dibunuh dengan cara dimutilasi setelah dirudapaksa.
Dalam kurun waktu dua tahun saja, terhitung sejak 1994 hingga 1996, sedikitnya sudah ada delapan anak yang jadi korban. Empat mayat ditemukan di kawasan eks Bandara Kemayoran, sementara empat lainnya di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Para korban itu rata-rata merupakan anak jalanan.
Saat dilakukan penyelidikan, pihak forensik menemukan kemiripan pola luka pada tubuh para korban, seperti luka bekas jeratan leher, sayatan di perut, dan di bagian lubang anus. Mereka pun akhirnya menyimpulkan kalau pelaku di balik kasus keji ini adalah pelaku yang sama dan bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan serupa yang terjadi sebelumnya.
Keyakinan itu semakin kuat pasca polisi menemukan korban lain bernama Kasikin. Dari kasus pembunuhan ini, polisi kemudian menangkap seorang pemulung bernama Baekuni. Ia diduga kuat erat kaitannya dengan kasus ini.
Usai ditangkap, Baekuni kemudian memberikan kesaksian. Kepada polisi, ia mengaku sempat bertemu dengan Kasikin sebelum ditemukan tewas menggenaskan. Bocah laki-laki yang usianya masih cukup belia itu katanya terakhir terlihat bersama seorang pemulung lain bernama Siswanto.
Tak berselang lama, pihak kepolisian pun kemudian mengejar sosok itu. Berdasarkan penuturan Baekuni, Siswanto tinggal di sebuah gubuk di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sayangnya, ketika aparat mencoba menggerebek gubuk Siswanto, ia sudah tak lagi di sana.
Polisi pun terus melakukan penyisiran. Siswanto akhirnya ditemukan di Stasiun Tegal, pada Juli 1996, saat sedang mengemis. Mulanya, aparat tak percaya kalau Siswanto adalah dalang di balik rentetan kasus pembunuhan dan pemerkosaan bocah ini. Pasalnya, dari gelagat tubuhnya, ia jauh dari sangkaan kriminal.
Tubuhnya pendek, badannya pun kurus. Kalau jalan, terlihat membungkuk dan kakinya pincang sebelah. Kepalanya juga seringkali menggeleng tanpa alasan, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai Robot Gedek. Kendati begitu, demi kepentingan penyelidikan, Robot Gedek pun tetap digiring ke Mapolres setempat.
Rasa ketidakpercayaan polisi terhadap penampilan tubuh Robot Gedek patah seketika tatkala mereka mendengar pengakuannya. Ketika diinterogasi, Robot Gedek mengaku telah menyodomi dua belas anak. Bocah-bocah itu kemudian dibunuh dengan cara dimutilasi guna menghilangkan jejak.
Benar saja, pengakuan Robot Gedek tersebut sesuai dengan fakta yang ditemukan oleh polisi di lapangan. Saat melakukan olah TKP, polisi menemukan sperma Robot Gedek. Tak hanya itu, sidik jadi yang ada di pisau cutter yang ditemukan polisi di TKP juga sama dengan sidik jari Robot Gedek. Mereka pun akhirnya percaya bahwa ia adalah sosok biadab di balik kasus ini.
Ia mengaku, alasan di balik mencabuli anak-anak karena merasakan nafsu saat melihat mereka. Tak hanya itu, ia juga membunuh para korban bukan semata-mata untuk menghilangkan jejak kejahatannya, melainkan karena merasakan sensasi tersendiri saat memotong kecil tubuh mungil mereka. Bahkan, berdasarkan pengakuannya juga, Robot Gedek kerap meminum darah korban karena tubuhnya selalu merasa segar kembali setelah meminum darah mereka./
Pada 21 Mei 1997, Robot Gedek akhirnya menerima putusan. Ia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Jakarta Pusat. Namun, tepat pada tahun 2007, sebelum proses eksekusi dilangsungkan, Robot Gedek terlebih dahulu mati akibat serangan jantung. (ersuwa)