JAKARTA | Priangan.com – Nepotisme bukanlah fenomena baru dalam sejarah, melainkan telah ada sejak zaman kolonial, khususnya pada masa kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Hindia Belanda. VOC, yang didirikan pada tahun 1602, merupakan perusahaan dagang Belanda yang memperoleh monopoli perdagangan di Asia, terutama di wilayah Nusantara. Meski tujuan utamanya adalah perdagangan, struktur birokrasi dan pemerintahan VOC sangat dipengaruhi oleh praktik-praktik nepotisme.
VOC pada dasarnya adalah perusahaan yang mengendalikan kekuasaan besar di Hindia Belanda. Seiring berjalannya waktu, perusahaan ini juga berfungsi layaknya sebuah negara dalam negara, dengan kekuasaan politik, militer, dan administratif yang luas. Sejumlah besar pegawai VOC, mulai dari pejabat tinggi hingga penguasa daerah, sering kali diangkat berdasarkan hubungan keluarga atau kedekatan personal, bukan karena kompetensi atau prestasi.
Sistem pengangkatan ini menciptakan kondisi di mana pejabat-pejabat VOC lebih memprioritaskan keluarga atau teman dekat untuk posisi strategis dalam pemerintahan kolonial. Hal ini pada akhirnya mengakar kuat dan menjadi bagian dari budaya politik di Hindia Belanda selama masa kekuasaan VOC.
Nepotisme di VOC bisa dilihat dari berbagai aspek, terutama dalam penempatan jabatan penting. Para gubernur jenderal dan pejabat tinggi VOC sering kali mengangkat kerabat atau kolega mereka untuk menduduki jabatan-jabatan strategis. Beberapa contohnya adalah posisi gubernur, kontrolir (pengawas), dan pegawai penting dalam administrasi keuangan.
Di bawah sistem nepotisme ini, jabatan publik sering kali diberikan kepada orang-orang yang kurang kompeten, yang hanya memiliki hubungan baik dengan penguasa. Akibatnya, korupsi dan ketidakbecusan dalam menjalankan pemerintahan menjadi hal yang biasa terjadi.
Praktik nepotisme yang berlangsung di bawah kekuasaan VOC membawa berbagai dampak negatif terhadap perkembangan Hindia Belanda. Para pejabat yang diangkat melalui hubungan keluarga sering kali lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga mereka daripada memikirkan kesejahteraan rakyat atau kelangsungan pemerintahan yang baik. Hal ini menyebabkan merosotnya kinerja administrasi dan meluasnya korupsi di berbagai tingkat pemerintahan kolonial.
Salah satu dampak yang paling nyata dari nepotisme adalah ketidakstabilan ekonomi di Hindia Belanda. Banyak proyek-proyek yang dikelola oleh pejabat yang tidak kompeten gagal memberikan hasil maksimal, sementara kekayaan kolonial lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki koneksi kuat dalam pemerintahan.
Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, warisan nepotisme masih melekat kuat di Hindia Belanda. Pemerintahan kolonial yang menggantikan VOC, yaitu pemerintah Hindia Belanda di bawah kontrol Kerajaan Belanda, tetap melanjutkan sebagian besar praktik-praktik ini. Budaya nepotisme yang terbentuk selama ratusan tahun masa VOC tidak dengan mudah hilang, bahkan terus mempengaruhi sistem pemerintahan di Nusantara hingga masa penjajahan berakhir.
Nepotisme yang terjadi di masa VOC memberikan dampak panjang terhadap budaya politik dan birokrasi di Indonesia. Meskipun sudah berabad-abad berlalu, praktik ini masih terasa relevansinya dalam berbagai sektor kehidupan pemerintahan dan politik hingga saat ini.
Praktik pengangkatan pejabat berdasarkan hubungan keluarga atau personal yang terjadi selama masa VOC memiliki dampak negatif yang besar terhadap efisiensi pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Meski VOC sudah lama hilang dari panggung sejarah, warisan budaya nepotisme yang ditinggalkannya masih bisa dirasakan hingga sekarang, menandakan betapa mendalamnya pengaruh sistem ini terhadap perjalanan sejarah Indonesia. (mth)