JAKARTA | Priangan.com – Inilah sosok Eduard Douwes Dekker. Ia merupakan seorang penulis asal negeri kincir angin, Belanda, yang punya peran penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Meski tak terlibat langsung dalam pergerakan, namun karya Dekker berupa novel dengan judul Max Havelaar telah mampu membangkitkan rasa nasionalisme kalangan bangsa pribumi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) kala itu.
Semuanya berawal ketika pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820, ini bekerja sebagai seorang Asisten Residen di kawasan Lebak, Banten, pada tahun 1856. Kala itu, Dekker menyaksikan langsung penderitaan rakyat Hindia Belanda akibat kerja rodi dan pemerasan yang dilakukan oleh pejabat setempat dengan dukungan pemerintah kolonial.
Ketidakadilan itu lantas membuatnya marah. Ia pun menulis surat kepada atasannya dan meminta agar Bupati Lebak beserta keluarganya dihukum. Namun, alih-alih mendapat tanggapan baik, seruannya itu justru tidak direspons sesuai harapan, Dekker malah mendapat peringatan keras dari atasannya.
Lantaran merasa kecewa, ia pun akhirnya mengundurkan diri dan mulai menuliskan semua pengalamannya itu ke dalam sebuah buku novel yang kemudian dikenal sebagai Max Havelaar. Buku tersebut akhirnya resmi terbit di Belgia pada tahun 1860. Dalam karyanya ini, Dekker mengisahkan semua penderitaan rakyat pribumi di bawah kekuasaan pemerintah kolonial. Dengan nama pena Multatuli, dalam novel itu ia juga menyajikan kritik tajam kepada pemerintah.
Siapa sangka, seiring berjalannya waktu, Max Havelaar kian dikenal orang. Bahkan, buku itu menjadi sumber inspirasi bagi tokoh-tokoh lain, seperti Robert Fruin, Van Deventer, dan Pieter Brooshooft. Mereke kemudian menuangkan pemikirannya lewat berbagai artikel yang dimuat di media massa. Robert Fruin, misalnya, setelah mendapat inspirasi dari Max Havelaar, ia lalu membuat sebuah artikel di majalah De Gids tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup warga jajahan. Lewat artikel ini, istilah “Baltig Slot” atau keuntungan dari program Cultuur Stelsel (tanam paksa) dikenal.
Hal yang sama dilakukan oleh Van Deventer. Setelah ia mendapat inspirasi usai membaca tulisan Robert Fruin yang notabene dilatarbelakangi oleh Novel Max Havelaar, tokoh yang menggagas politik etis itu kemudian membuat sebuah artikel dengan judul “Een Eerschuld”, yang berarti Utang Budi. Ia menilai, pemerintah kolonial punya utang budi kepada rakyat Hindia Belanda yang pada saat itu telah bekerja keras untuk memakmurkan Belanda.
Sementara Brooshooft, setelah membaca novel Max Havelaar, rajin menyuarakan agar pemerintah Belanda memenuhi kewajiban moralnya terhadap bangsa pribumi. Pada saat itu, berbagai tulisan ia muat di surat kabar De Locomotief, salah satunya adalah Haluan Etis Dalam Politik Kolonial.
Tak hanya menginspirasi para tokoh luar, buku karya Eduard Douwes Dekker itu juga berhasil memantik kesadaran nasionalisme bangsa pribumi. Ada sejumlah tokoh nasional yang kala itu terinspirasi oleh buku tersebut. Soekarno, misalnya, ia menjadikan Max Havelaar sebagai penggugah semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Hal yang sama dilakukan oleh R.A Kartini. Sang Pejuang emansipasi wanita itu bahkan mengakui kalau Multatuli adalah penulis hebat yang membela kalangan pribumi di bumiputera. Ia pun menjadikan Max Havelaar sebagai inspirasi bagi perjuangannya untuk memperjuangkan kesetaraan terhadap kaum perempuan. (ldy)