Mati Demi Sebuah Karya, Begini Kisah Ebith Allonby

LONDON | Priangan.com – Pada awal abad ke-20, ketika dunia sastra masih didominasi oleh suara pria, seorang guru wanita muda dari Inggris menulis dengan keyakinan bahwa kata-katanya datang dari surga. Ia bukan hanya ingin didengar, tetapi ingin dipercaya. Namun ketika naskahnya ditolak karena dianggap terlalu berani, ia memilih untuk mengakhiri hidupnya agar tulisannya bisa hidup. Namanya Edith Allonby, penulis yang percaya bahwa kematian bisa menjadi cara terakhir untuk membuat dunia membaca.

Dilansir dari Amusing Planet, Edith lahir pada tahun 1875 di Cark, Cumbria, Inggris. Hidupnya diwarnai oleh kehilangan sejak kecil, ibunya meninggal saat ia berusia empat tahun, disusul ayahnya sembilan tahun kemudian. Setelah menempuh pendidikan di Liverpool, ia bekerja sebagai guru di Bishopsbourne, Kent, lalu menjadi kepala sekolah bagian putri di St. Anne’s National School, Lancaster.

Sebagai pengajar, Edith dikenal sangat berdedikasi. Murid-muridnya mencintainya karena kelembutannya dan dalam waktu singkat sekolah itu berubah menjadi salah satu yang terbaik di daerahnya. Seorang inspektur sekolah bahkan menulis bahwa berkat pengaruh Miss Allonby, sekolah tersebut telah berpindah dari kegelapan menuju cahaya.

Namun di balik sosok guru yang tenang itu, ada dunia lain yang hanya dimilikinya sendiri. Edith menghabiskan waktu luangnya untuk menulis cerita-cerita yang penuh fantasi dan renungan spiritual. Ia menulis bukan semata untuk hiburan, melainkan sebagai cara memahami Tuhan dan makna hidup.

Tahun 1903, ia menerbitkan novel pertamanya berjudul ‘Jewell Sowers’, dan dua tahun kemudian novel keduanya pun terbit dengan judul ‘Marigold’. Kedua novel ini diterbitkan tanpa mencantumkan namanya dan berlatar di planet imajiner bernama Lucifram, tempat di mana semua hal terbalik, seperti laut mengalir ke langit, gunung menggantung di udara, dan penduduknya berjalan dengan kepala di bawah. Meski aneh, The Guardian memuji Jewell Sowers sebagai eksperimen yang cerah dan menyenangkan, menilai bahwa gaya tulisannya ringan dan penuh imajinasi.

Lihat Juga :  Mengenang Mesin Arcade, Wahana Permainan yang Pernah Populer di Zamannya

Keberanian imajinatif Edith mencapai puncaknya ketika ia menulis novel ketiganya, ‘The Fulfilment’. Dalam naskah ini, Edith menulis dengan keyakinan bahwa ia sedang menyampaikan pesan dari Tuhan. Di halaman pembuka, ia menulis: “Didedikasikan kepada Tuhan, dengan segala rasa takut dan hormat yang mampu dirasakan hati manusia.” Buku ini berisi refleksi spiritual dan pemikiran religius yang tidak biasa untuk zamannya, sebab menantang dogma, mempertanyakan tradisi, dan menawarkan cara baru untuk memahami iman.

Namun penerbitnya menolak menerbitkan naskah itu tanpa revisi. Mereka menilai ada bagian-bagian yang bisa menyinggung umat beragama dan merusak nama baik sang penulis muda.

Edith menolak keras usulan itu. Dalam surat kepada penerbit, ia mengatakan bahwa setiap kata dalam The Fulfilment adalah bagian dari amanat suci yang tidak boleh diubah. Ia yakin bahwa tugasnya adalah menyampaikan pesan itu persis seperti yang ia terima, tanpa kompromi.

Lihat Juga :  William Wallace: Pahlawan Skotlandia dalam Perjuangan Kemerdekaan

Ketika harapan untuk menerbitkan naskahnya pupus, Edith mengambil keputusan yang mengejutkan dunia sastra Inggris. Pada 5 September 1905, di usia 29 tahun, ia menenggak racun asam karbol di rumahnya. Dalam surat terakhir yang dikirim kepada The London Standard, ia menulis dengan keteguhan yang menyayat:

“Aku telah menulis sebuah buku yang mengandung dua hal—kebenaran, atau penghujatan. Aku tahu itu kebenaran, tapi terlalu sederhana untuk dikenali dunia. Selama aku hidup, cahaya itu mungkin takkan terlihat. Ketika aku tiada, biarkan dunia menilainya dengan jujur. Aku mati agar anugerah Tuhan dapat sampai dengan sedikit mungkin rintangan.”

Tragedi ini membuat penerbitnya terkejut. Mereka mengaku tidak pernah berniat menolak karyanya sepenuhnya. Justru mereka telah menentukan tanggal penerbitan The Fulfilment pada 1 Desember, bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Mereka hanya menunggu persetujuannya atas revisi yang dianggap perlu.

Namun, nasib berkata lain. Setelah kematiannya, buku itu akhirnya diterbitkan beberapa bulan kemudian, tetapi dalam versi yang telah disunting. Pengorbanan Edith yang diharapkan bisa menjaga keutuhan pesannya justru membuat makna karyanya berkurang. Dalam kata pengantar edisi itu, penerbit menulis bahwa buku tersebut “terpaksa diterbitkan dalam keadaan tidak lengkap,” dan menambahkan bahwa seandainya Edith masih hidup, “naskah itu pasti akan direvisi dan disempurnakan.”

Lihat Juga :  Tenggelamnya Kapal Tampomas II di Laut Jawa

Kisah Edith Allonby menyebar luas di surat kabar Inggris. Banyak yang memujinya sebagai penulis yang idealis, tetapi tak sedikit pula yang mempertanyakan kewarasannya. Dokter keluarganya bahkan menulis surat kepada koroner bahwa ada riwayat gangguan mental di keluarganya, ayah dan pamannya meninggal karena bunuh diri, sementara saudaranya pernah mencoba hal yang sama. Namun Edith menolak anggapan itu dengan tegas dalam surat terakhirnya: “Jika mereka bilang aku gila, katakan dari aku—ini adalah kegilaan yang akan menyebar. Bukan kegilaan untuk mati, melainkan kegilaan untuk percaya.”

Kisahnya menjadi simbol tragis dari seorang wanita yang berjuang di dunia sastra yang belum siap menerima suaranya. Di masa ketika penulis wanita di genre fantasi dan fiksi ilmiah masih sangat jarang, Edith mencoba melangkah lebih jauh. Ia memadukan keyakinan religius dengan imajinasi kosmik, menciptakan karya yang berani menembus batas zaman.

Namun dunia belum siap untuk mendengarkannya. The Fulfilment, karya yang ia yakini sebagai wahyu, akhirnya hanya dikenal sebagai kisah tragis di balik kematian penulisnya. Edith Allonby mungkin tidak pernah mencapai ketenaran yang ia impikan, tetapi kisah hidupnya tetap menjadi pengingat bahwa keyakinan dan keinginan untuk didengar bisa menjadi pedang bermata dua. Ia menulis demi Tuhan, berkorban demi kebenaran yang diyakininya, dan meninggalkan dunia dengan satu pesan yang abadi: bahwa terkadang, kata-kata menuntut harga yang lebih besar daripada yang bisa dibayar oleh hidup. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos