TOKYO | Priangan.com – Pada masa Perang Dunia II, ada sebuah pasukan asal Jepang yang amat ditakuti oleh musuh-musuhnya. Pasukan itu adalah Kamikaze, unit penerbang yang misinya hanya satu arah: menyerang tanpa kembali. Mereka dikenal sebagai simbol keberanian sekaligus keputusasaan Jepang di ujung kekalahannya melawan Sekutu.
Pasukan Kamikaze mulai dibentuk pada tahun 1944, ketika situasi perang di kawasan Pasifik kian memburuk bagi Jepang. Setelah kalah di Filipina dan Saipan, pemerintah militer mencari cara terakhir untuk menahan laju pasukan Sekutu. Dari sanalah muncul gagasan ekstrem: menerbangkan pesawat yang sarat bahan peledak langsung ke kapal perang musuh. Pilotnya kebanyakan masih muda, banyak yang bahkan baru menamatkan pendidikan militernya.
Pelatihan mereka berlangsung singkat. Begitu dianggap siap, para penerbang muda itu dikirim ke garis depan. Mereka menembus langit dengan pesawat kecil bermuatan bom besar, mengarahkan diri ke kapal-kapal Sekutu dengan keberanian yang nyaris tak masuk akal. Salah satu aksi pertama mereka terjadi dalam Pertempuran Teluk Leyte pada Oktober 1944. Serangan itu memang menenggelamkan beberapa kapal musuh, namun hampir semua pilot Kamikaze yang terlibat gugur di tempat.
Di balik gambaran heroik yang ditonjolkan pemerintah Jepang saat itu, tersembunyi kisah batin yang jauh lebih rumit. Banyak pilot menulis surat terakhir untuk keluarga, ada yang menuliskan pesan singkat penuh ketakutan, ada pula yang berusaha meyakinkan diri bahwa kematian mereka punya arti. Bagi sebagian besar, perintah itu bukan semata pilihan, melainkan kewajiban yang dibungkus dengan kata “kehormatan”.
Dari sisi militer, taktik Kamikaze hanya memberi dampak sesaat. Memang ada ratusan kapal Sekutu yang rusak, namun kerugian Jepang jauh lebih besar. Dalam waktu kurang dari setahun, ribuan nyawa muda melayang tanpa berhasil mengubah arah perang. Akhirnya, Jepang menyerah pada Agustus 1945 setelah dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki, dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat.
Kini, kisah Kamikaze menjadi cermin kelam dari sebuah bangsa yang tersudut dan kehilangan harapan. Di Jepang, mereka tidak lagi dipuja semata sebagai pahlawan, melainkan dikenang sebagai simbol generasi yang dikorbankan oleh keputusan perang. (wrd)


















