BANJAR | Priangan.com — Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Banjar menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan Pemerintah Kota Banjar yang kembali menutup paksa Masjid Al-Istiqomah di Kampung Tanjungsukur, Kelurahan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat.
Penutupan ini dinilai diskriminatif, melanggar konstitusi, serta bertentangan dengan semangat toleransi beragama yang dijunjung pemerintah pusat.
Menurut Abdul Hafidz Bahansubu, Mubaligh JAI Banjar, Masjid Al-Istiqomah telah berdiri sejak tahun 1980-an dan selama ini menjadi tempat ibadah bagi warga Ahmadiyah yang hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat sekitar.
Di masjid tersebut, kegiatan ibadah rutin seperti salat lima waktu dan pembacaan Al-Qur’an dijalankan tanpa gangguan selama bertahun-tahun.
Namun, gangguan pertama datang pada tahun 2014, ketika Pemerintah Kota Banjar melalui Satpol PP menutup paksa masjid dengan menempatkan tiga drum sampah dan drum aspal di halaman masjid. Sejak itu, bangunan masjid terbengkalai dan mengalami kerusakan serius.
Setelah hampir sepuluh tahun tidak difungsikan secara penuh dan dalam kondisi yang membahayakan, pada 21 April 2025, warga Ahmadiyah mulai merenovasi Masjid Al-Istiqomah agar bisa kembali digunakan sebagaimana mestinya sebagai rumah ibadah.
Namun, renovasi ini mendapat tekanan dari kelompok yang menamakan diri Aliansi Muslim Kota Banjar (Al Muktabar), yang pada 28 Mei 2025 mendesak Wali Kota Banjar untuk menutup kembali masjid tersebut dalam waktu 30 hari.
Menanggapi desakan itu, Wali Kota Banjar H. Sudarsono menyatakan telah membentuk tim penanganan khusus yang diketuai Kepala Kemenag Kota Banjar, Ahmad Fikri. “Perwal akan kita tegakkan, di samping itu akan ada pendekatan dari tim,” ujar Sudarsono seperti dikutip dari media daring.
Tanggal 5 Juni 2025, saat azan Ashar berkumandang, tim dari pemerintah kota tiba-tiba datang ke Masjid Al-Istiqomah. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, sekitar 30 orang yang dipimpin langsung oleh Kepala Kemenag Kota Banjar melakukan penyegelan.
“Kami sudah mencoba berdiskusi panjang, namun pemerintah tetap memaksakan kehendaknya berdasarkan Perwal lama yang tidak relevan,” ujar Abdul Hafidz.
Puncaknya terjadi pada 10 Juni 2025, sekitar pukul 15.00 WIB. Tim kembali datang dan menghentikan paksa kegiatan renovasi. Mereka memasang spanduk di depan masjid yang mencantumkan Keputusan Wali Kota Banjar Nomor: 450/Kpts.115-Huk/2011 tentang Pembekuan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Kota Banjar.
Menurut Abdul Hafidz, tindakan ini tidak hanya mencederai semangat toleransi, tetapi juga menyalahi kewenangan. “Urusan agama adalah domain pemerintah pusat, bukan wewenang pemerintah daerah. Tidak ada satu pun aturan yang melarang Ahmadiyah membangun masjid dan menjalankan ibadah,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa tindakan pemerintah kota, termasuk pemasangan spanduk larangan, merupakan bentuk nyata pelanggaran hak beragama dan diskriminasi administratif.
“Pemerintah pusat lewat Asta Cita telah berkomitmen pada penguatan toleransi. Tapi yang terjadi di Banjar justru sebaliknya,” tutupnya. (yna)