JAKARTA | Priangan.com – Awal abad ke-20 menjadi babak baru dalam sejarah Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memperkenalkan Politik Etis yang membuka akses pendidikan bagi kaum pribumi. Dari sekolah-sekolah itu lahirlah generasi baru yang tidak hanya bisa membaca dan menulis, tetapi juga sadar bahwa bangsanya hidup dalam penjajahan.
Kesadaran tersebut melahirkan semangat perlawanan yang kemudian mencari jalannya melalui pers. Surat kabar menjadi ruang penting, tempat kata-kata digunakan sebagai senjata melawan penindasan, sekaligus membangkitkan kesadaran kebangsaan.
Dari arena itu, nama Marco Kartodikromo atau akrab disapa Mas Marco muncul sebagai salah satu tokoh yang sangat berani. Seperti ditulis National Geographic, Marco lahir di Blora dan menorehkan kiprah besar dalam sejarah pers nasional. Ia dikenal lewat tulisan-tulisannya yang tajam, lugas, dan berani menentang pemerintah kolonial.
Sejak awal kariernya, karyanya banyak dimuat di surat kabar pribumi seperti Sarotomo, Pantjaran Warna, Sinar Hindia, Sinar Djawa, Hidoep, hingga Habromarkoto. Marco memilih menggunakan bahasa Melayu Pasar agar mudah dipahami rakyat, sebuah pilihan yang membuat tulisannya cepat menyebar sekaligus membuat Belanda gusar.
Keberaniannya tidak berhenti di meja redaksi. Pada 1914, Marco mendirikan Inlandsche Journalistenbond (IJB) di Surakarta, organisasi yang menjadi wadah bagi jurnalis pribumi. Langkah ini kemudian dikenang sebagai tonggak awal berdirinya organisasi pers di Indonesia.
Di tahun yang sama, ia merintis surat kabar Doenia Bergerak, yang terbit perdana pada Januari 1914. Media ini menjadi corong perjuangan, memuat kritik keras, propaganda, sekaligus menyuarakan aspirasi rakyat kepada pemerintah kolonial.
Perjalanan intelektual Marco banyak dipengaruhi oleh dua tokoh besar, yaitu Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dan Tirto Adhi Soerjo. Dari Tirto, pendiri Medan Prijaji, ia belajar bahwa pers bisa menjadi senjata politik. Sebelum mendirikan medianya sendiri, Marco lebih dulu menulis di Sarotomo.
Di sana ia menggegerkan banyak pihak dengan kritik tajam terhadap Welvaart Commisie, lembaga bentukan pemerintah kolonial yang katanya mengurusi kesejahteraan pribumi. Marco justru menyebut komisi itu tidak layak dipercaya dan bahkan menyindirnya dengan akronim “W.C” atau jamban dalam edisi 10 November 1912.
Keberanian itu membuatnya berkali-kali berurusan dengan penjara. Pada Desember 1914, ia dijerat tuduhan persdelict karena menolak membuka identitas penulis anonim di Doenia Bergerak yang menulis kritik radikal terhadap Belanda. Meski harus mendekam di balik jeruji, semangatnya tidak padam. Dari penjara Semarang, ia menulis roman berjudul Mata Gelap yang berhasil rampung dalam tiga jilid sebelum ia dibebaskan pada 1916.
Tulisan Marco tidak hanya berisi kritik, tetapi juga ajakan untuk bersatu dan melawan penjajahan. Gagasan-gagasannya ikut mendorong lahirnya organisasi politik pribumi dan memperkuat arus kebangkitan nasional.
Namun, pemerintah kolonial kian khawatir dengan pengaruhnya. Pada 1927, Marco dibuang ke Boven Digoel, Papua, sebuah tempat pengasingan yang jauh, sunyi, dan keras. Di sana ia menjalani hari-harinya hingga meninggal pada 19 Maret 1932. Ia dimakamkan di Tanah Tinggi, Boven Digoel.
Meski berpulang di tanah asing, nama Marco Kartodikromo tetap abadi dalam sejarah. Ia dikenang sebagai jurnalis yang berani menjadikan pers sebagai senjata melawan imperialisme. Dari pena sederhananya lahir gagasan besar yang mengguncang kekuasaan kolonial dan memberi inspirasi bagi generasi berikutnya. (LSA)