Louise Coldenhoff: Srikandi Laut Pengibar Merah Putih di Bumi Cenderawasih

JAYAPURA | Priangan.com – Pada pagi 1 Mei 1963, langit Jayapura yang dahulu adalah Hollandia, menyaksikan momen yang akan tercatat dalam sejarah bangsa. Di hadapan pasukan dan rakyat, Letnan Louise Elisabeth Coldenhoff berdiri tegak untuk mengibarkan Sang Merah Putih, menandai penyerahan resmi Irian Barat dari otoritas PBB kepada Indonesia. Penugasan itu datang secara mengejutkan, hanya beberapa jam sebelum upacara dimulai, langsung dari Presiden Soekarno.

Padahal, Louise baru empat bulan dilantik sebagai perwira Korps Wanita Angkatan Laut Republik Indonesia (KOWAL) dan bukan nama utama dalam daftar petugas upacara. Tugas tersebut semula dipercayakan kepada Letnan An Go Lian Lie, rekan seangkatannya.

Dilansir dari DetikX, perintah mendadak itu datang tengah malam. Seorang kolonel Angkatan Darat menghampiri Louise dan meminta agar ia segera menghadap Soekarno. Dalam pertemuan itu, sang presiden mengubah keputusan dan meminta Louise-lah yang menurunkan bendera UNTEA dan Belanda, serta mengibarkan bendera Indonesia. Meski bingung dan canggung, Louise tetap menjalankan amanah dengan tenang dan sigap. Ia sadar, yang sedang ia emban bukan sekadar seremoni, melainkan simbol kedaulatan bangsa.

Sebelum hari besar itu, Louise dan sebelas perwira KOWAL lainnya telah lebih dulu dikirim ke Hollandia untuk mempersiapkan pelaksanaan upacara. Mereka berlatih baris-berbaris dan membersihkan lapangan yang akan menjadi lokasi bersejarah itu.

Saat upacara berlangsung, bendera UNTEA, Belanda, dan Indonesia berkibar di tiga tiang. Bendera PBB dan Belanda diturunkan hingga menyentuh tanah, sementara bendera Indonesia hanya diturunkan setengah tiang sebagai bentuk penghormatan atas transisi damai yang terjadi.

Ketika lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan, Louise kembali menaikkan Merah Putih hingga ke puncak, mengukuhkan posisi Indonesia di bumi Cenderawasih.

Lihat Juga :  Sutomo; Sang Orator yang Mampu Membakar Semangat Para Pejuang

Tiga hari setelahnya, Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan di Abepura. Namun, sebagian besar warga yang hadir mulai meninggalkan lapangan. Louise yang menyaksikan peristiwa itu kemudian menceritakan bahwa seorang perwira TNI membisikkan kepada Soekarno bahwa masyarakat Papua saat itu belum banyak memahami bahasa Indonesia.

Tanpa ragu, Soekarno mengganti bahasanya menjadi bahasa Belanda. Seketika, warga yang semula pergi kembali datang dan mendengarkan pidato sang presiden. Bagi Louise, momen itu menunjukkan betapa besar empati Soekarno dalam memahami siapa yang menjadi komunikan pidatonya.

Kesannya terhadap Soekarno sebagai pemimpin yang peka terhadap situasi lapangan tak lepas dari latar belakang militernya sendiri. Louise Elisabeth Coldenhoff lahir pada 22 Maret 1935. Ia bergabung dengan Angkatan Laut lewat program wajib militer setelah menyelesaikan pendidikan jasmani di Universitas Padjadjaran, Bandung. Ketika mendengar kabar dibentuknya Korps Wanita TNI AL, ia segera mendaftarkan diri dan terpilih menjadi bagian dari angkatan pertama KOWAL.

Lihat Juga :  Ini Pol Pot, Pemimpin Khmer Merah yang Kejam

Dari ratusan pendaftar, hanya 12 orang yang lolos seleksi. Bersama Louise, mereka adalah Pinarti, Christina Logiani Semiartin, Siti Dahlia, Syamsia, Suryati Rasdan, An Go Lian Lie, Ide Rope Darina Tampubolon, Elly Hanifah, Wayan Widja, Sri Wiyati SH, dan Suprapti. Tiga nama pertama mendapat pangkat kapten, selebihnya berpangkat letnan.

Angkatan pertama KOWAL ini diresmikan pada 5 Januari 1963 oleh Menteri/Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana R.E. Martadinata. Mereka menjalani pendidikan militer selama 12 minggu di Malang dan Surabaya, di bawah komando Mayor R. Ahadi Mangunkarta. Seusai pelantikan, Louise ditugaskan ke Sekolah Supply Angkatan Laut (SSAL) sebelum kemudian berangkat ke Irian Barat.

Setelah menyelesaikan tugas di Jayapura, Louise dan 11 rekannya dikirim ke Maryland, Amerika Serikat, untuk mempelajari organisasi WAVES (Women Accepted for Volunteer Emergency Service). Sepulang dari Amerika, mereka disiapkan menjadi perekrut dan pendidik calon prajurit wanita di Sekolah Komando Angkatan Laut (Seskoal), Cipulir.

Lihat Juga :  Rahasia Gelap di Balik Suntikan: Kasus Vaksin Tetanus yang Merenggut Nyawa

Karier Louise terus menanjak. Ia ditunjuk sebagai komandan pertama Pusat Pendidikan KOWAL di Surabaya. Pada 1971, saat Ratu Juliana dari Belanda berkunjung ke Indonesia, Louise dipercaya menjadi ajudannya. Ia kemudian menjabat Kepala Bagian Personalia Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Departemen Perhubungan.

Pada 5 Februari 1983, ia dilantik menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta oleh Gubernur Soeprapto dan menjabat hingga 10 Juli 1987. Setelah pensiun dari TNI AL dengan pangkat kolonel, ia tetap aktif di dunia pendidikan, termasuk menjabat sebagai Ketua Majelis Pendidikan Katolik (MPK) di Jakarta.

Louise Elisabeth Coldenhoff wafat pada 7 Februari 2021 di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, Jakarta, dalam usia 86 tahun. Perjalanan hidupnya tidak hanya mencerminkan dedikasi seorang perwira wanita dalam dunia militer, tapi juga memperlihatkan bagaimana seorang tokoh perempuan hadir dalam simpul-simpul penting sejarah bangsa. Dalam senyap, ia telah ikut menjahit kembali kedaulatan Indonesia dari ujung timur negeri ini. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos