NUSANTARA | Priangan.com – Sejarah Kerajaan Mataram Islam dipenuhi berbagai kisah kebesaran serta keberanian para prajurit dan punggawa kerajaan. Namun, di balik kisah-kisah heroik tersebut, ada juga kisah tentang pengkhianatan yang berdampak luas terhadap stabilitas kerajaan.
Salah satu kisah pengkhianatan paling epik adalah kisah yang melibatkan Tumenggung Endranata. Seorang punggawa yang rela mengkhianati Sultan Agung demi ambisi pribadinya. Kisah Tumenggung Endranata menjadi salah satu pelajaran pahit tentang dampak besar dari kesetiaan yang dirusak oleh kepentingan politik dan godaan pihak asing.
Sebagai putra Tumenggung Wiraguna, Endranata adalah seorang prajurit yang dikenal sangat setia pada masa-masa awalnya. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, ia terlibat aktif dalam berbagai kampanye militer untuk memperluas wilayah Mataram, termasuk di Demak dan sekitarnya.
Dedikasinya itu membuatnya dipercaya oleh sang Sultan dan diberi kedudukan tinggi di lingkungan istana. Namun, hubungan baik ini lambat laun runtuh ketika Endranata mulai terpengaruh oleh politik devide et impera yang diterapkan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
VOC, yang pada waktu itu tengah berupaya menguasai Nusantara, melihat peluang besar untuk mengadu domba para punggawa kerajaan guna melemahkan kekuatan Sultan Agung. Tawaran kekuasaan dan harta akhirnya menggoyahkan loyalitas Endranata. Ia pun beralih menjadi musuh dalam selimut bagi Kerajaan Mataram.
Pengkhianatan Tumenggung Endranata bukanlah sesuatu yang dilakukan dalam satu waktu, melainkan pengkhianatan yang terjadi secacra kontinyu. Salah satu tindakan pertamanya adalah memicu ketegangan internal di dalam kerajaan. Ia memprovokasi Sultan Agung untuk mencurigai Adipati Pragola II dari Pati, saudara ipar Sultan sendiri.
Dengan menyebarkan isu bahwa Pragola berencana untuk memberontak, sosok yang juga dikenal sebagai Ngabehi Mertajaya itu berhasil meyakinkan Sultan untuk menyerang Pati. Hal ini, tentu saja mengakibatkan perang saudara yang menguras kekuatan militer dan sumber daya Mataram. Konflik ini tidak hanya melemahkan kekuatan Sultan, tetapi juga memperburuk kondisi internal kerajaan.
Sementara itu, langkah pengkhianatan terbesar Endranata terjadi pada serangan kedua Mataram terhadap Batavia pada tahun 1629. Setelah kekalahan pada serangan pertama, Sultan Agung saat itu hendak merencanakan serangan lanjutan yang lebih matang. Namun, rencana ini harus gagal lantaran Endranata menjual informasi penting kepada pihak Belanda.
Kala itu, ia diketahui membpcorkan lokasi-lokasi vital seperti lumbung pangan Mataram yang menjadi sumber logistik utama. Akibatnya, VOC berhasil menghancurkan lumbung-lumbung tersebut. Hal ini berimbas pada pasukan Mataram yang mengalami kelaparan dan kekurangan suplai. Rencana serangan ke Batavia pun gagal.
Pengkhianatan kedua yang dilakukan oleh Endranata ini akhirnya terbongkar. Sultan Agung kala itu luar biasa murka. Ia tak pernah menyangka, sosok yang selama ini menjadi kepercayaannya ternyata musuh dalam selimut.
Singkat cerita, Sultan Agung kemudian memutuskan untuk menghukum Endranata dengan hukuman yang sangat berat. Ini dilakukan sebagai peringatan bagi siapapun yang berniat mengkhianati kerajaan. Tubuh Endranata dihukum mutilasi menjadi tiga bagian, kepala, kaki, dan badan. Semua organ itu ditempatkan di lokasi-lokasi berbeda, dan punya makna penghinaan tersendiri.
Kepala Endranata ditempatkan di alun-alun Jayakarta, ini menjadi simbol peringatan keras bagi VOC dan siapa saja yang berpikir untuk berkhianat terhadap Mataram. Kaki Endranata dibuang ke Laut Jawa, melambangkan pengusiran sosoknya dari tanah Jawa.
Sementara badannya, dikuburkan di anak tangga menuju makam para raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Ini berkaitan dengan sumpah Sultan Agung yang bersumpah kalau tubuh Endranata akan diinjak-injak sampai hari kiamat tiba.
Dengan menguburkan tubuhan di anak tangga, maka tubuhnya secara tidak langsung akan diinjak oleh para peziarah yang datang ke makam tersebut. (ersuwa)