EROPA | Priangan.com – Di sudut-sudut kelam Eropa abad pertengahan, ketika kematian berbisik di udara yang dipenuhi bau anyir, sosok dengan jubah hitam, topeng berparuh panjang, dan tongkat di tangan menjadi pemandangan yang menghantui. Doctor Plague, begitu mereka dikenal, adalah simbol sekaligus solusi yang disodorkan masyarakat pada masa itu untuk melawan wabah penyakit mematikan. Seiring berjalannya waktu, figur ini menjadi lebih dari sekadar dokter; dia menjadi ikon kengerian sekaligus ketahanan manusia dalam menghadapi ancaman penyakit.
Pada pertengahan abad ke-14, Eropa dilanda oleh pandemi paling mematikan dalam sejarah: Wabah Hitam (Black Death). Wabah ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis, yang ditularkan melalui kutu yang hidup di tubuh tikus. Dari tahun 1347 hingga 1351, diperkirakan sepertiga populasi Eropa tewas akibat wabah ini. Wabah Hitam tidak hanya menghancurkan secara fisik, tetapi juga psikologis dan sosial. Orang-orang hidup dalam ketakutan terus-menerus, berupaya memahami apa yang sedang terjadi tanpa pengetahuan medis yang memadai.
Di tengah-tengah kekacauan ini, para Doctor Plague muncul sebagai figur penting. Namun, alih-alih memberikan pengobatan yang efektif, peran mereka lebih berfungsi sebagai upaya preventif serta upaya melindungi diri mereka sendiri dari penyakit yang belum sepenuhnya dipahami.
Yang paling ikonik dari Doctor Plague tentu adalah penampilannya. Para dokter ini mengenakan kostum yang dirancang khusus untuk melindungi mereka dari penyakit, meskipun tidak sepenuhnya berdasarkan ilmu pengetahuan. Desain kostum tersebut pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke-17 oleh Charles de Lorme, dokter pribadi raja Prancis.
Meskipun pakaian mereka menciptakan citra perlindungan dan otoritas, peran para Doctor Plague sering kali tidak lebih dari simbol penanganan yang sia-sia. Sebagian besar dari mereka bukanlah dokter terlatih, melainkan orang biasa yang ditugaskan oleh pemerintah kota untuk menangani wabah, seperti mencatat kematian dan melakukan pengawasan terhadap pasien. Dalam beberapa kasus, mereka merawat pasien dengan berbagai ramuan herbal atau teknik pengobatan yang tidak efektif, karena pengobatan modern masih sangat terbatas.
Dokter wabah ini juga sering kali bertindak sebagai petugas yang mengelola pemakaman massal. Banyak di antara mereka yang bertugas meneliti tubuh pasien untuk mencari gejala-gejala khas wabah, atau untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar meninggal. Pada masa itu, kecepatan penyebaran penyakit begitu mengerikan sehingga banyak korban yang dikuburkan dalam kuburan massal, sering kali tanpa upacara yang layak.
Salah satu alasan utama mengapa para Doctor Plague tidak terlalu efektif dalam menangani wabah adalah karena mereka bekerja di bawah pandangan medis yang salah. Pada masa itu, teori miasma sangat populer, yang menyatakan bahwa penyakit menyebar melalui udara buruk atau bau busuk. Ini menjadi alasan mengapa mereka mengenakan topeng paruh panjang dengan bahan aromatik di dalamnya. Padahal, seperti yang kita ketahui sekarang, Wabah Hitam disebarkan melalui kutu yang hidup pada tikus, bukan udara yang terkontaminasi.
Kepercayaan ini memperlihatkan keterbatasan ilmu pengetahuan saat itu, di mana tidak ada pemahaman tentang mikroorganisme atau vaksin. Alih-alih mengatasi sumber penyakit, usaha mereka lebih banyak difokuskan pada upaya mengurangi bau dan menghindari kontak langsung dengan korban.
Karena penampilan mereka yang menyeramkan dan peran mereka yang erat dengan kematian, Doctor Plague kerap kali diasosiasikan dengan mitos dan cerita supernatural. Beberapa orang percaya bahwa mereka memiliki kekuatan magis atau dikaitkan dengan malaikat maut. Pakaian mereka yang aneh juga menjadi sumber banyak legenda, di mana masyarakat sering kali merasa ketakutan jika melihat sosok ini berjalan di jalanan.
Di samping itu, Doctor Plague menjadi subjek populer dalam budaya populer. Dari lukisan-lukisan abad pertengahan hingga kostum pesta karnaval di Venesia, citra mereka terus hidup hingga sekarang. Dalam seni modern, mereka sering kali muncul sebagai simbol kegelapan, kematian, atau bahkan kehancuran, mencerminkan trauma kolektif masyarakat Eropa pada masa wabah. (mth)