Ketimpangan Sanitasi di Kota Tasikmalaya: Modern di Tengah, Kumuh di Pinggiran

TASIKMALAYA | Priangan.com — Di saat Pemerintah Kota Tasikmalaya gencar menata kawasan kota agar tampil seperti kota metropolitan, sebagian warga di pinggiran kota justru masih hidup dalam kondisi yang jauh dari kata layak.

Di beberapa titik wilayah Tamansari dan Kawalu, warganya bahkan belum memiliki MCK (mandi, cuci, kakus) yang memadai. Mereka buang air besar di kolam, menggunakan bilik darurat berdinding kain, atau berbagi jamban reyot yang dibangun seadanya.

Fenomena ini terjadi di RT 03/RW 05 Kelurahan Setiamulya, Kecamatan Tamansari, dan juga Kampung Leuwisari, Kelurahan Leuwiliang, Kecamatan Kawalu. Di dua kawasan ini, keberadaan MCK layak ibarat kemewahan yang belum pernah mereka rasakan.

“Kalau malam, masih banyak yang harus pakai bilik darurat dari kain. Tidak ada jamban. Kalau hujan, becek dan licin. Tapi mau bagaimana lagi, nggak ada pilihan,” kata Dion Pahruroji (22), pemuda lokal yang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, Minggu (20/7/2025).

Dion menyebut, di wilayahnya terdapat sedikitnya 13 rumah yang sama sekali tidak memiliki jamban. Warga hanya mengandalkan MCK darurat yang didirikan dengan material seadanya—tanpa lantai semen, tanpa aliran air bersih, dan tanpa septic tank. “Sanitasinya sangat berisiko. Anak-anak dan orang tua rentan sakit. Tapi tidak ada yang serius menindaklanjuti,” katanya.

Kondisi serupa dialami sejumlah keluarga di Kampung Leuwisari, Kawalu. Beberapa warga bahkan masih buang air di atas kolam dengan tempat buatan sederhana yang mereka sebut “miniatur helikopter”. Jamban umum di kawasan ini berdiri di atas kolam dan digunakan secara bergantian oleh warga dari beberapa rumah.

Jajang Solihin (45), warga Leuwisari, membenarkan masih adanya rumah yang belum dilengkapi jamban. “Masih ada satu dua rumah yang belum punya WC. Warga biasanya ke jamban umum, itu pun bentuknya masih darurat,” ujarnya.

Lihat Juga :  Kecanduan Judi Online, Satpam Rampas Motor Ojol Difabel di Ciamis

Masalah sanitasi di pinggiran kota ini tak hanya soal infrastruktur, tapi juga soal keberpihakan. Di tengah gegap gempita proyek-proyek di pusat kota, masyarakat di tepian kota merasa ditinggalkan. Padahal, menurut Dion, sanitasi adalah hak dasar manusia yang dijamin konstitusi.

Lihat Juga :  Empat Tahun Tanpa Aksi, Perda Anti Narkoba Kota Tasik Dikecam Aktivis

“Yang mereka butuhkan bukan bantuan sembako sebulan sekali, tapi toilet yang sehat. Itu saja sudah luar biasa. Tapi dari dulu sampai sekarang tidak pernah dibangunkan. Bukan tidak mungkin, hanya tidak dijadikan prioritas,” tegas Dion.

Dia mendorong pemerintah untuk tidak menutup mata atas persoalan ini. Menurutnya, pembangunan WC komunal dan perbaikan rumah tidak layak huni bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kondisi hidup warga. “Pemerintah bisa kolaborasi dengan komunitas dan swasta. Yang dibutuhkan hanya kemauan politik,” tambahnya.

Situasi ini menunjukkan adanya jurang lebar antara pembangunan kota dan realitas sosial masyarakatnya. Di satu sisi, taman kota ditata, trotoar dipercantik. Di sisi lain, warganya masih buang air di tempat terbuka.

“Kalau bicara soal ‘Kota Layak Huni’, ya tolong juga pikirkan yang di pinggiran. Jangan cuma di Alun-alun,” ucapnya. (yna)

 

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos