Ketika Salahuddin Menjadikan Kelahiran Nabi Sebagai Cahaya Perjuangan dan Persatuan

JAKARTA | Priangan.com – Setiap tahun, umat Islam di berbagai penjuru dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan cara yang beragam. Di Indonesia, tradisi ini begitu meriah. Ada yang mengisinya dengan pembacaan shalawat, pengajian, doa bersama, hingga pawai budaya di kampung-kampung. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa peringatan kelahiran Nabi ini punya kisah panjang yang berawal lebih dari delapan abad lalu. Ada sejarah menarik di balik lahirnya tradisi ini, sebuah cerita yang dimulai di masa ketika dunia Islam sedang berada dalam tekanan besar.

Pada tahun 1099 M, Yerusalem jatuh ke tangan tentara Salib dari Eropa. Pasukan yang datang dari Prancis, Jerman, dan Inggris berhasil merebut kota suci itu. Masjid Al-Aqsa yang sebelumnya menjadi pusat ibadah umat Islam diubah menjadi gereja.

Peristiwa ini bukan sekadar kehilangan wilayah, tetapi juga pukulan besar bagi umat Islam. Mereka kehilangan semangat juang, merasa tercerai-berai, dan tidak lagi memiliki kekuatan persatuan. Walaupun khalifah Abbasiyah di Baghdad masih ada, kekuasaannya hanya tinggal simbol. Dunia Islam terpecah ke dalam banyak kerajaan dan kesultanan kecil yang lemah di hadapan musuh besar.

Di tengah suasana suram itu, hadirlah seorang pemimpin bernama Sultan Salahuddin Al-Ayyubi. Sejak tahun 1174 M, ia memimpin Dinasti Ayyubiyah dari Kairo, Mesir. Kekuasaan Salahuddin membentang luas hingga Suriah dan Semenanjung Arab. Ia dikenal sebagai sosok yang gagah di medan perang, tetapi juga bijaksana dalam membimbing rakyat. Salahuddin memahami bahwa kekuatan sejati tidak hanya lahir dari strategi militer, melainkan juga dari iman dan kecintaan umat kepada Nabi Muhammad SAW.

Dari keyakinan itulah lahir sebuah gagasan besar. Salahuddin mengusulkan agar hari kelahiran Nabi, 12 Rabiul Awal, diperingati secara khusus. Menurutnya, dengan menumbuhkan kembali kecintaan kepada Nabi, umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan dan kembali bersatu.

Lihat Juga :  Sejarah Gaya Rambut Taucang, Tradisi Unik yang jadi Identitas Pria Tionghoa Era Dinasti Qing

Gagasan itu kemudian ia sampaikan kepada Khalifah An-Nashir di Baghdad. Sang khalifah menyetujuinya dan pada musim haji tahun 1183 M, Salahuddin mengumumkan bahwa mulai tahun berikutnya, Maulid Nabi akan diperingati secara resmi.

Keputusan ini tentu tidak lepas dari perdebatan. Sebagian ulama menilai perayaan Maulid adalah bid‘ah, sebab Islam hanya mengenal dua hari raya, yakni Idulfitri dan Iduladha. Namun, Salahuddin menjelaskan bahwa Maulid Nabi bukanlah ibadah baru. Peringatan ini hanyalah cara untuk memperindah syiar agama dan meneguhkan cinta kepada Nabi Muhammad. Penjelasan itu akhirnya bisa diterima, dan umat Islam pun menyambut gagasan ini dengan antusias.

Lihat Juga :  Sejarah Gaya Rambut Taucang, Tradisi Unik yang jadi Identitas Pria Tionghoa Era Dinasti Qing

Perayaan Maulid Nabi pertama berlangsung pada tahun 1184 M (580 H). Acara itu digelar dengan penuh semangat. Salah satu kegiatan utamanya adalah lomba penulisan sejarah dan pujian untuk Nabi Muhammad. Para ulama dan cendekiawan diundang untuk berpartisipasi.

Dari perayaan itu lahirlah karya monumental Syekh Ja‘far al-Barzanji berjudul Al-Barzanji. Kitab ini berisi kisah hidup Nabi yang ditulis dengan penuh cinta dan pengagungan. Hingga kini, Al-Barzanji masih sering dibacakan dalam acara Maulid di banyak tempat di dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Peringatan Maulid Nabi membawa dampak besar. Umat Islam yang sebelumnya terpuruk kembali memiliki semangat juang. Hanya tiga tahun setelah perayaan pertama, pada 1187 M, Salahuddin berhasil memimpin pasukannya merebut kembali Yerusalem. Masjid Al-Aqsa dikembalikan fungsinya sebagai masjid, dan kemenangan itu menjadi simbol kebangkitan Islam di tengah gempuran Perang Salib.

Seiring berjalannya waktu, tradisi Maulid Nabi terus berkembang dan menyebar ke berbagai negeri Muslim. Bentuk perayaannya beragam, disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Ada yang mengisinya dengan pengajian, doa bersama, pembacaan kitab Al-Barzanji, hingga berbagai kegiatan sosial dan budaya.

Lihat Juga :  Tiga Teori Kematian Pablo Escobar, Gembong Narkoba Paling Terkenal di Dunia

Meski caranya berbeda-beda, esensi Maulid tetap sama: mengingat kelahiran Nabi Muhammad sebagai sumber semangat, persatuan, dan cinta kepada beliau.

Hingga hari ini, gema Maulid Nabi masih hidup di tengah masyarakat. Perayaan ini menjadi pengingat bahwa di balik sejarah panjang, ada pesan penting yang tidak pernah pudar, tentanng kecintaan kepada Nabi mampu menyalakan semangat, menyatukan yang tercerai-berai, dan memberi kekuatan untuk menghadapi tantangan zaman. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos