BANDUNG | Priangan.com – Pada pertengahan abad ke-20, di tengah panasnya ketegangan global, negara-negara kecil dan baru merdeka bersatu untuk menentang dominasi kekuatan besar dunia dan berhasil mengubah arah sejarah dunia.
Pertemuan bersejarah ini diselenggarakan di Gedung Merdeka, Bandung, pada 18–24 April 1955 menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Di tengah ketegangan global akibat Perang Dingin, muncul dua blok kekuatan besar yang saling bertentangan secara ideologis. Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan sistem kapitalis, dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet dengan ideologi komunis. Situasi ini memunculkan kekhawatiran dunia akan pecahnya Perang Dunia ketiga.
Negara-negara yang baru merdeka atau sedang memperjuangkan kemerdekaannya merasa perlu mencari jalan alternatif untuk menjaga perdamaian dan menentukan nasib sendiri.
Maka dari itu, Konferensi Asia Afrika (KAA) hadir sebagai bentuk solidaritas kolektif sekaligus respons terhadap situasi dunia yang semakin memanas dan mengancam stabilitas global.
Indonesia sebagai tuan rumah, bersama empat negara sponsor lainnya, yaitu India, Pakistan, Burma (Myanmar), dan Sri Lanka, berhasil mengundang 29 negara peserta dari kawasan Asia dan Afrika.
Negara-negara tersebut mewakili lebih dari setengah populasi dunia saat itu. Bandung pun menjadi simbol penting dari perlawanan terhadap penjajahan dan lahirnya kekuatan baru dunia dari negara-negara berkembang.
Latar belakang utama KAA adalah pengalaman pahit penjajahan dan keinginan bersama untuk menolak kolonialisme serta membangun kerja sama setara.
Konferensi ini juga bertujuan mempererat solidaritas, meninjau isu sosial, ekonomi, dan kebudayaan, menciptakan kerukunan antarumat beragama, serta mempromosikan perdamaian dunia.
Presiden Soekarno membuka konferensi dengan pidato berjudul “Let a New Asia and a New Africa be Born”. Pidato ini menyerukan kelahiran tatanan dunia baru yang lebih adil dan bebas dari dominasi kekuatan asing.
Selama konferensi, delegasi negara-negara peserta merumuskan pandangan dan aspirasi bersama melalui komite-komite kerja.
Puncaknya terjadi pada 24 April 1955, saat sidang umum terakhir menyetujui hasil pernyataan dari masing-masing komite.
Hasil paling monumental dari KAA adalah lahirnya Dasasila Bandung.
Dasasila Bandung adalah deklarasi politik yang berisi sepuluh prinsip dasar. Secara garis besar, prinsip-prinsip tersebut menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia, kedaulatan negara, keadilan internasional, penolakan terhadap kolonialisme, serta penyelesaian konflik dengan cara damai.
Deklarasi ini menjadi simbol perjuangan bangsa-bangsa tertindas untuk menentukan nasib sendiri secara damai.
Dasasila Bandung menjadi landasan moral dan politik dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun kerja sama internasional yang adil.
Selain itu, ia menjadi inspirasi utama lahirnya Gerakan Non-Blok yang menawarkan alternatif netral di tengah persaingan dua blok besar dunia.
Prinsip-prinsipnya tetap relevan hingga kini, terutama bagi negara-negara berkembang yang terus memperjuangkan keadilan dan kedaulatan.
Dokumen resmi hasil konferensi, “Final Communiqué of the Asian-African Conference of Bandung”, menegaskan pentingnya perlucutan senjata, penghormatan hak asasi manusia, dan penyelesaian damai atas konflik internasional.
Dengan berakhirnya KAA pada 24 April 1955, lahirlah warisan besar berupa Dasasila Bandung. Ia menjadi cahaya harapan bagi bangsa-bangsa yang menginginkan perdamaian, kemerdekaan, dan martabat yang sejati. (LSA)