SAN FRANSISCO | Priangan.com – Pada hari Minggu ini, 20 April 2025, umat Kristen di seluruh dunia merayakan Hari Paskah, yang identik dengan simbol telur. Telur, sebagai lambang kebangkitan dan kehidupan baru, memiliki cerita menarik dalam sejarah Amerika.
Pada abad ke-19, di California, telur menjadi komoditas yang sangat langka dan berharga, bahkan diperebutkan hingga menyebabkan pertumpahan darah.
Peristiwa ini bermula dengan demam emas California pada tahun 1850-an, yang menarik sekitar 300.000 pemburu harta karun dari berbagai penjuru dunia. Mereka datang ke wilayah yang sebelumnya hanya dihuni sedikit orang, seperti San Francisco.
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat ini menyebabkan kekurangan pangan, terutama setelah persediaan ayam dan telur di wilayah Teluk San Francisco habis. Makanan menjadi sangat langka, dan kebutuhan protein yang terjangkau mulai sulit ditemukan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, para penduduk San Francisco mulai mencari sumber protein lain. Mereka menemukan bahwa di lepas pantai, sekitar 30 mil dari sana, terdapat kepulauan Farallon.
Kepulauan ini dikenal sebagai rumah bagi koloni burung laut terbesar di Amerika Serikat setelah Alaska dan Hawaii.
Di pulau-pulau tersebut, terdapat banyak telur burung murre yang memiliki ukuran lebih besar dibandingkan telur ayam, dengan cangkang yang lebih keras. Telur burung murre ini menjadi sangat dicari karena mudah diekspor dengan kerusakan yang minim.
Perburuan telur pun segera dimulai. Seorang dokter bernama Robinson dan saudara iparnya membeli perahu dan berlayar menuju Farallon untuk memanen telur burung murre.
Meskipun mereka kehilangan sebagian besar tangkapan di laut yang ganas, mereka masih berhasil meraup keuntungan besar. Dengan menjual telur-telur tersebut seharga $1 per butir, yang setara dengan sekitar $30 saat ini, mereka memperoleh keuntungan $3000, jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Telur murre, meskipun tampak tidak menggugah selera dengan putih telur yang tetap bening dan kuning telur yang berwarna jingga menyala, menjadi satu-satunya sumber protein bagi para pemburu emas yang kelaparan. Rasanya sangat amis, namun karena tidak ada pilihan lain, para pemburu emas memakannya dengan lahap di penginapan dan restoran.
Perburuan telur pun semakin intensif, dengan banyak perusahaan yang berlomba-lomba untuk menguasai pasar.
Para pemburu telur harus menghadapi tantangan yang berat, termasuk memanjat tebing terjal dan menghadapi burung camar yang agresif.
Mereka juga menghancurkan telur yang sudah ditemukan untuk memastikan bahwa telur yang mereka kumpulkan adalah yang baru saja diletakkan, demi menjaga kesegaran.
Dalam waktu singkat, sekitar 500.000 telur berhasil dikumpulkan selama musim bertelur antara Mei dan Agustus.
Namun, persaingan antar perusahaan telur semakin ketat, dan tidak jarang berujung pada perkelahian fisik. Pada bulan Juni 1863, sebuah baku tembak terjadi antara kelompok nelayan Italia dan Pacific Egg Company.
Ketegangan meningkat sepanjang malam, hingga akhirnya terjadi baku tembak pada fajar yang mengakibatkan dua orang tewas dan beberapa lainnya terluka. Kejadian ini menunjukkan betapa sengitnya persaingan dalam bisnis perburuan telur.
Pemerintah akhirnya campur tangan dan memberikan hak monopoli kepada Pacific Egg Company untuk mengelola perburuan telur di pulau tersebut.
Selama dua dekade berikutnya, perusahaan ini mengakibatkan kerusakan parah pada koloni burung laut di Farallon. Populasi burung murre biasa yang sebelumnya mencapai 500.000 pasang menurun drastis menjadi hanya 6.000 pasang akibat eksploitasi berlebihan.
Perburuan telur akhirnya dilarang pada tahun 1881. Setelah itu, populasi burung murre mulai pulih secara perlahan. Kini, sekitar 160.000 pasang burung murre kembali menghuni kepulauan Farallon, sebagai bukti bahwa usaha pelestarian alam dapat mengembalikan keseimbangan ekosistem yang sempat terganggu.
Cerita ini menjadi pengingat bagi kita tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dan menghargai setiap komoditas, sekecil apapun itu. (LSA)