TOKYO | Priangan.com – Bagi banyak orang di seluruh dunia, Hello Kitty hanyalah sosok kartun lucu berwujud seekor kucing putih tanpa ekspresi dengan pita merah yang menghiasi berbagai produk seperti kotak makan siang, ransel, hingga pernak-pernik bernilai miliaran.
Namun di balik tampilannya yang polos dan menggemaskan, tersembunyi kisah kompleks mengenai kebangkitan budaya Jepang pasca-Perang Dunia II.
Hello Kitty pertama kali diciptakan pada tahun 1974, di tengah upaya Jepang untuk bangkit dari kehancuran akibat perang. Saat itu, Jepang sedang menjalani transformasi besar.
Kekalahan pada tahun 1945 memaksa negara ini untuk merefleksikan masa lalu kelamnya sebagai kekuatan militer imperialis dan mencari cara untuk memperbaiki citra di mata dunia.
Ketegangan politik dan kultural pascaperang masih membayangi hubungan Jepang dengan Barat, terutama Amerika Serikat yang saat itu banyak memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap warga Jepang dan keturunannya.
Dalam proses rekonstruksi yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1952 di bawah pengawasan pasukan pendudukan Amerika, Jepang menyadari perlunya pendekatan baru yang lebih halus untuk kembali memasuki panggung dunia.
Alih-alih menunjukkan kekuatan melalui militer atau politik, Jepang mulai mengeksplorasi kekuatan lunak, yakni pengaruh budaya yang bersifat emosional dan nonkonfrontatif.
Di sinilah muncul strategi yang tak terduga, yaitu budaya kelucuan, atau yang dikenal dengan istilah kawaii dalam bahasa Jepang.
Konsep kawaii awalnya lahir dari budaya gadis Jepang, sebagai bentuk pelarian dan pemberdayaan diri. Estetikanya ditandai oleh kepolosan, kelucuan yang berlebihan, dan kesederhanaan visual.
Gerakan ini sempat menjadi bagian dari subkultur mahasiswa perempuan di era 1960-an hingga 1980-an.
Namun, seiring waktu, daya tarik emosional kawaii menarik perhatian dunia usaha dan pemerintah Jepang.
Dari sebuah gerakan akar rumput, ia berubah menjadi alat strategis nasional. Hello Kitty menjadi simbol utama dari transformasi ini.
Diciptakan oleh desainer Yuko Shimizu untuk perusahaan Sanrio yang saat itu dikenal dengan produk sandal karet bermotif bunga, Hello Kitty melambung menjadi fenomena global di akhir 1970-an.
Karakternya yang apolitis, tanpa ekspresi, dan sangat mudah disesuaikan menjadikannya figur yang ideal untuk menyampaikan citra Jepang yang baru yang tidak lagi agresif, melainkan penuh kehangatan, kreativitas, dan daya tarik emosional.
Pada tahun 1983, hanya beberapa dekade setelah akhir perang, Hello Kitty diangkat sebagai duta anak-anak resmi untuk UNICEF di Amerika Serikat.
Seiring waktu, pemerintah Jepang semakin menyadari potensi besar dari estetika kawaii sebagai alat diplomasi budaya.
Melalui inisiatif ‘Cool Japan’, pemerintah memanfaatkan budaya pop, termasuk anime, fesyen, dan ikon kawaii untuk membangun citra nasional yang menarik dan menjalin kedekatan emosional dengan negara-negara lain.
Hello Kitty bahkan ditunjuk sebagai Duta Pariwisata Jepang untuk Taiwan dan Korea Selatan, dua negara yang pernah mengalami pendudukan brutal di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang.
Ini menunjukkan bagaimana kekuatan lunak bisa digunakan untuk memperhalus luka sejarah dan membuka kembali hubungan diplomatik yang renggang.
Dalam dunia internasional, estetika kawaii menjadi wajah baru Jepang sebagai simbol kedamaian dan daya tarik budaya.
Fenomena ini meluas hingga ke ranah sosial.
Kementerian Luar Negeri Jepang bahkan menunjuk ‘Duta Lucu’ atau perempuan muda bergaya kawaii sebagai wakil budaya di berbagai acara internasional.
Dalam sebuah wawancara, salah satu duta tersebut, Aoki Misako, mengungkapkan bahwa busana kawaii bukan sekadar gaya berpakaian, melainkan bentuk ekspresi diri yang mampu mengubah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri.
Bagi banyak perempuan, budaya kawaii menjadi ruang aman untuk melawan standar kecantikan dan norma sosial yang mengekang.
Menariknya, bahkan tokoh politik sekelas mantan Perdana Menteri Shinzo Abe pun memanfaatkan strategi ini.
Di Olimpiade Rio 2016, ia muncul dalam balutan kostum Mario dari Nintendo, ikon budaya pop Jepang yang tak kalah kawaii.
Aksi ini dilakukan setelah berbagai kritik terhadap sikap nasionalismenya, termasuk kunjungan kontroversial ke tugu peringatan yang berkaitan dengan penjahat perang Jepang.
Penampilannya sebagai Mario seakan menjadi cara halus untuk melembutkan citra yang keras di mata publik global.
Budaya kawaii, seperti yang disebut oleh antropolog Christine Yano sebagai ‘performativitas kelucuan’, telah menjadi bagian integral dari identitas Jepang modern.
Yano menjelaskan dalam buku ’Pink Globalization: Hello Kitty’s Trek Across the Pacific’ bahwa budaya kawaii memiliki kekuatan ganda. Di satu sisi sebagai ekspresi pribadi dan identitas, di sisi lain sebagai alat diplomasi dan pencitraan merek yang sangat efektif.
Di tengah dunia yang sering kali keras dan penuh konflik, Jepang memilih untuk menampilkan wajah yang lembut, manis, dan mengundang simpati.
Hello Kitty, yang tampak sederhana, ternyata membawa misi besar dalam menyusun ulang citra sebuah bangsa, satu ekspresi polos dalam satu waktu. (LSA)