JAKARTA | Priangan.com – Pada pergantian tahun 1956, sebuah pertemuan istimewa terjadi di Istana Merdeka, Jakarta. Willem Oltmans, seorang jurnalis Belanda yang dikenal dengan integritasnya, menjadi tamu pribadi Presiden Sukarno. Peristiwa ini tidak hanya memberikan wawasan baru bagi Oltmans tentang sosok Sukarno, tetapi juga menjadi cerminan kompleksitas hubungan Indonesia-Belanda di era pasca-kolonial.
Sebelum perjalanan ke Indonesia, Oltmans terpengaruh oleh narasi media di Belanda yang menggambarkan Sukarno sebagai pemimpin otoriter dan penuh kebencian terhadap Belanda. Namun, apa yang ia temui di Jakarta jauh dari bayangan tersebut. Sukarno menunjukkan keramahan yang tulus, bahkan mengundangnya untuk makan malam di Istana Merdeka, disertai dengan sesi menonton film. Momen ini membuat Oltmans melihat Sukarno sebagai figur pemimpin yang humanis dan karismatik.
Di tengah interaksi itu, Sukarno tidak menunjukkan dendam pribadi terhadap bangsa Belanda meskipun ia telah memimpin perjuangan melawan kolonialisme selama puluhan tahun. Sukarno, dalam tradisi budaya Jawa, memosisikan dirinya sebagai “Bapak Bangsa,” seorang pemimpin yang tidak hanya memikirkan politik tetapi juga hubungan emosional dengan rakyatnya. Oltmans, yang semula skeptis, mulai memahami mengapa Sukarno begitu dicintai oleh rakyat Indonesia.
Selama kunjungannya, Oltmans mendalami isu yang menjadi sumber utama ketegangan Indonesia-Belanda, yaitu sengketa Papua Barat. Setelah Konferensi Meja Bundar 1949, Indonesia merasa Belanda ingkar janji dengan menunda penyerahan Papua. Isu ini mempersatukan berbagai elemen masyarakat Indonesia, baik pendukung maupun oposisi Sukarno, dalam tuntutan agar Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Sebaliknya, di Belanda, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Willem Drees dan Menteri Luar Negeri Joseph Luns memperkeruh suasana. Upaya diplomasi senyap, seperti yang dilakukan oleh Duco Middelburg, kerap menemui jalan buntu karena kurangnya kemauan politik dari pihak Den Haag. Bagi Oltmans, sikap keras kepala pemerintah Belanda mencerminkan kegagalan mereka dalam memahami dinamika pasca-kolonial.
Sebagai jurnalis, Oltmans menghadapi dilema ketika mencoba menyampaikan realitas Indonesia kepada publik Belanda. Artikel-artikelnya, yang menawarkan perspektif berbeda dari narasi dominan, sering kali ditolak oleh media utama di Belanda. Misalnya, sebuah artikel tentang dukungan masyarakat Indonesia terhadap klaim Papua Barat ditolak oleh NRC dengan alasan bahwa pembaca mereka “belum siap” untuk menerima pandangan tersebut.
Oltmans menyadari bahwa media Belanda lebih memilih mempertahankan stereotipe lama yang menggambarkan Sukarno sebagai ancaman. Narasi ini, menurutnya, lebih berkaitan dengan trauma kolonial Belanda daripada realitas di lapangan. Bagi banyak orang di Belanda, Sukarno adalah simbol kekalahan kolonial, tetapi bagi Oltmans, ia adalah pemimpin yang visioner dan penuh kasih kepada rakyatnya.
Pengalaman bersama Sukarno mengajarkan Oltmans pentingnya melihat melampaui propaganda dan stereotipe. Sukarno tidak pernah memusuhi individu Belanda; perjuangannya adalah melawan sistem kolonial yang menindas bangsa Indonesia. Dalam interaksinya dengan Oltmans, Sukarno menunjukkan bahwa hubungan manusiawi bisa melampaui luka sejarah.
Pertemuan ini juga memperkuat keyakinan Oltmans bahwa jurnalisme sejati harus berani menyampaikan kebenaran, meskipun itu bertentangan dengan narasi yang mapan. Kisah ini menjadi pengingat bahwa hubungan antarbangsa, terutama yang memiliki sejarah kolonial, membutuhkan pemahaman yang mendalam dan keberanian untuk mengakui kenyataan yang kompleks.(mth)