Kala Lonceng di Jerman Tak Lagi Berdentang karena Perang

HAMBURG | Priangan.com – Hampir setiap keluarga di Jerman ikut ambil bagian dalam dua Perang Dunia. Banyak yang memberikan anak laki-lakinya untuk berperang dan ada pula yang menyumbangkan perhiasan emas milik mereka.

Pada tahun 1914, pemerintah Jerman mengadakan kampanye dengan slogan “Saya Memberikan Emas untuk Besi”. Kampanye ini mengajak rakyat, terutama para wanita, untuk menyerahkan perhiasan emas mereka dan menukarnya dengan cincin atau medali dari besi.

Slogan ini sebenarnya sudah pernah digunakan sebelumnya, yaitu pada tahun 1813 saat Prusia berperang melawan Prancis. Saat itu, Putri Marianne dari Prusia mengajak para wanita menyumbangkan emas mereka demi membantu perjuangan negara dan sebagai lambang semangat dan cinta tanah air.

Saat Perang Dunia I berlangsung, kampanye itu dihidupkan lagi. Banyak wanita Jerman dengan sukarela menyerahkan perhiasan dan cincin kawin mereka demi negara.

Akan tetapi, ketika perang berjalan lama dan kebutuhan akan logam semakin besar, pemerintah memerintahkan semua orang untuk menyerahkan logam apapun yang mereka miliki, termasuk tembaga, kuningan, timah, dan seng.

Barang-barang seperti panci, wajan, patung, bahkan lonceng gereja pun ikut dikumpulkan dan dilebur untuk dijadikan amunisi dan senjata. Mereka yang menolak bisa dihukum penjara hingga satu tahun.

Bahkan, lonceng-lonceng gereja mulai dicopot satu per satu. Pemerintah meminta semua gereja mencatat dan melaporkan jenis dan ukuran lonceng yang mereka punya. Lonceng-lonceng kecil atau yang digunakan untuk sinyal kereta api dan kapal tidak wajib diserahkan.

Lonceng-lonceng lain dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan nilai seni dan sejarahnya. Lonceng yang dinilai kurang penting langsung dilebur. Yang punya nilai sedang disimpan sementara, dan yang dianggap berharga dilindungi.

Lihat Juga :  Menembus Kain, Revolusi Mesin Jahit yang Mengubah Dunia

Saat Perang Dunia kedua, pemerintah Nazi membagi lonceng ke dalam empat jenis: A, B, C, dan D. Lonceng jenis A dan B wajib diserahkan segera. Jenis C disimpan sementara untuk diperiksa dulu oleh para ahli sejarah seni. Jenis D dinyatakan aman dan tidak boleh dilebur.

Lihat Juga :  Di Balik Kegelapan London: Kisah Link-Boy, Pembawa Obor Abad Pertengahan

Setiap gereja hanya boleh menyimpan satu lonceng, biasanya yang paling kecil. Lonceng-lonceng dari abad ke-16 dan ke-17, atau dari Abad Pertengahan, biasanya dikecualikan karena dianggap terlalu berharga.

Setelah diambil dari menara, lonceng-lonceng itu diangkut ke pabrik peleburan di Hamburg dan beberapa kota lain. Di sana, mereka disimpan di tempat khusus sambil menunggu giliran untuk dilebur. Tempat penyimpanan itu disebut “kuburan lonceng” atau Glockenfriedhof.

Suasananya digambarkan menyedihkan karena ribuan lonceng yang dulu mengisi udara dengan suara indah kini hanya menunggu untuk dihancurkan. Lonceng kecil dihancurkan dengan palu, sementara lonceng besar diledakkan. Menurut seorang saksi mata, beberapa lonceng bahkan sempat berbunyi saat dihancurkan, seolah-olah mereka mengeluarkan suara terakhirnya.

Selama Perang Dunia I, sekitar 65.000 lonceng seberat 21.000 ton dilebur. Di Perang Dunia II, sekitar 45.000 lonceng kembali menjadi korban. Namun, sekitar 13.000 lonceng yang sempat dikumpulkan tapi belum dilebur dan berhasil diselamatkan setelah perang berakhir.

Pada tahun 1947, Sekutu membentuk panitia bernama ‘Ausschuss für die Rückführung der Glocken’ atau ARG. Tugasnya adalah mengurus pemulangan lonceng-lonceng itu ke gereja asal mereka.

ARG bekerja di wilayah pendudukan Prancis dan Soviet. Untuk lonceng-lonceng dari negara lain seperti Belgia, Prancis, Belanda, Italia, Austria, Polandia, dan lainnya, proses pemulangan diatur oleh negara masing-masing. Dalam waktu enam tahun, sebagian besar lonceng berhasil dikembalikan ke tempat asalnya, selama masih bisa dikenali.

Lihat Juga :  Nüshu: Aksara Rahasia di Balik Diamnya Perempuan Tiongkok

Selain menyelamatkan lonceng yang utuh, panitia juga mengambil lonceng-lonceng yang rusak akibat perang. Di gudang lonceng terbesar di Hamburg, ditemukan sekitar 150 ton lonceng pecah karena pengeboman. Lonceng-lonceng ini kemudian dibagikan ke gereja-gereja di Jerman Timur dan Jerman Barat yang kehilangan lonceng mereka.

Lihat Juga :  Jan Engelbert Tatengkeng; Sastrawan, Pendidik, dan Negarawan Berdedikasi Tinggi  

Menariknya, ada juga beberapa gereja yang memilih menyembunyikan lonceng mereka agar tidak diambil oleh Nazi. Lonceng-lonceng ini baru ditemukan puluhan tahun kemudian, dan menjadi berita menarik. Penemuan-penemuan itu menjadi pengingat bahwa di balik suara lonceng yang indah, ada kisah panjang tentang perjuangan, kehilangan, dan harapan. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos