AMSTERDAM | Priangan.com – Ratu Juliana adalah sosok monarki yang dikenal dekat dengan rakyatnya. Lahir pada 30 April 1909 di Den Haag, ia merupakan putri tunggal dari Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik. Masa kecilnya dijalani dalam suasana istana yang penuh aturan, namun Juliana tumbuh dengan karakter yang hangat dan rendah hati. Kehidupan tanpa saudara kandung membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan pengasuh maupun hewan peliharaannya.
Pendidikan Juliana tidak semata berlangsung di balik tembok istana. Ia memilih menempuh studi di Universitas Leiden sebagai mahasiswa reguler, sebuah keputusan yang kala itu cukup jarang dilakukan kalangan bangsawan. Dari sana, terlihat bagaimana ia ingin merasakan kehidupan yang lebih dekat dengan masyarakat luas.
Pada masa krisis ekonomi 1930-an, Juliana tampil memimpin Komite Krisis Nasional yang bertugas membantu rakyat terdampak. Sikapnya yang tegas dalam menolak hukuman mati juga memperlihatkan prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi, bahkan ketika keputusan itu menimbulkan tekanan politik.
Perjalanan hidupnya berubah drastis ketika Perang Dunia II pecah. Bersama anak-anaknya, ia harus mengungsi ke Kanada, sementara sang ibu membentuk pemerintahan Belanda dalam pengasingan di London. Di negeri asing itu, Juliana tetap aktif dalam kegiatan sosial, ikut menyumbangkan darah, hingga melayani pasien rumah sakit. Keberadaannya di Kanada membuatnya menjadi simbol semangat rakyat Belanda yang tengah berjuang di tanah air.
Sepulangnya dari pengasingan, Juliana dinobatkan sebagai Ratu Belanda pada 1948. Selama lebih dari tiga dekade kepemimpinannya, ia membawa monarki ke arah yang lebih terbuka dan demokratis. Gaya kepemimpinan yang sederhana membuatnya disegani, bukan hanya karena status, tetapi karena sikapnya yang humanis.
Salah satu momen bersejarah tercatat pada 1971 saat ia melakukan kunjungan ke Indonesia. Kedatangannya, dua puluh lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, menjadi simbol penting rekonsiliasi antara dua negara. Kehangatan sikap Juliana dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto meninggalkan kesan tersendiri, di tengah ingatan sejarah kolonial yang masih membekas di sebagian masyarakat.
Pada 1980, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-71, Juliana memutuskan turun takhta dan menyerahkan peran ratu kepada putrinya, Beatrix. Sejak saat itu ia kembali hidup sebagai warga kerajaan biasa dengan gelar Putri Juliana hingga akhir hayatnya pada 2004.
Warisan yang ditinggalkan Juliana bukan sekadar catatan politik atau peristiwa kenegaraan, melainkan contoh kepemimpinan yang menempatkan empati dan ketulusan di atas segalanya. Ia dikenang sebagai ratu yang memilih berjalan bersama rakyatnya, bukan berdiri jauh di atas mereka. (wrd)