Judi Negara dalam Balutan Undian: Sejarah SDSB di Indonesia

JAKARTA | Priangan.com – Di balik sikap konservatif terhadap perjudian yang kerap ditunjukkan pemerintah Indonesia di masa kini, sejarah mencatat bahwa praktik judi pernah dilegalkan, bahkan dikelola langsung oleh negara.

Perjudian tidak hanya menjadi fenomena sosial, tetapi juga bagian dari strategi pembangunan, politik, dan pengumpulan dana yang sah. Salah satu bentuk judi yang pernah sangat populer di Indonesia adalah undian berhadiah bernama Porkas, singkatan dari Pekan Olahraga Ketangkasan.

Lotre atau undian di Indonesia sesungguhnya bukan hal baru. Praktik ini sudah dikenal sejak dekade 1960-an dan lebih dikenal masyarakat sebagai lotre buntut. Namun, bentuk paling tersohor dalam sejarah Indonesia terjadi pada era Orde Baru, saat pemerintah secara resmi memperkenalkan dan mengelola Porkas.

Program ini dijalankan dengan tujuan menggalang dana publik untuk mendukung kegiatan olahraga nasional, khususnya sepak bola. Pemerintah kala itu berdalih bahwa Porkas bukanlah bentuk perjudian, melainkan sekadar undian berhadiah. Namun di balik dalih tersebut, publik sudah memahami bahwa skemanya tak jauh berbeda dengan judi.

Pemerintah meresmikan program ini dengan nama Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola (KPBS), yang kemudian berubah menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB), lalu menjadi Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB), dan akhirnya dikenal luas sebagai SDSB atau Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah.

Proses legalisasinya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1954 tentang Undian serta Surat Keputusan Menteri Sosial pada tahun 1985. Di dalam skemanya, masyarakat membeli kupon dan memprediksi hasil pertandingan dari 14 tim yang berlaga dalam kompetisi sepak bola nasional Galatama. Undian dilakukan setiap pekan setelah seluruh pertandingan selesai. Jika tebakan benar, maka pembeli kupon berpeluang mendapatkan hadiah.

Salah satu tokoh sentral di balik pengelolaan SDSB adalah Robby Sumampow, seorang pengusaha asal Solo yang dikenal dekat dengan lingkaran keluarga Cendana. Robby menjadi figur penting dalam operasional undian ini hingga akhirnya wafat pada 2022 di Singapura. Program SDSB dikelola oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), sebuah badan resmi yang ditunjuk pemerintah, di mana Robby memegang peran kunci bersama sejumlah pengusaha lainnya.

Lihat Juga :  Fathu Makkah: Hancurnya Keangkuhan Quraisy

Di masa kejayaannya, SDSB berhasil menghimpun dana besar yang digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan olahraga dan sosial. Pada puncaknya, SDSB mencatatkan omset hingga satu triliun rupiah per tahun.

Dana yang terkumpul tidak hanya digunakan untuk mendukung Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), tetapi juga untuk pembiayaan proyek sosial seperti pembangunan sekolah, bantuan bencana, dan kegiatan keagamaan. Skema pembagiannya pun diatur, sebagian untuk hadiah, sebagian untuk operasional, dan sisanya disalurkan ke lembaga negara.

Lihat Juga :  Trio Minang yang Mengubah Wajah Pasar Senen

Di balik itu, mulai bermunculan persoalan seperti meningkatnya praktik penipuan, kemiskinan struktural yang diperparah oleh harapan palsu terhadap kemenangan, serta keresahan masyarakat atas dampak moral yang ditimbulkan.

Seiring berjalannya waktu, suara-suara penolakan terhadap SDSB kian nyaring. Majelis Ulama Indonesia menjadi salah satu pihak yang secara terang-terangan menolak program tersebut dan mengirimkan surat resmi kepada Presiden Soeharto untuk mengevaluasi dampaknya. MUI menilai bahwa SDSB tidak berbeda dengan perjudian dan berpotensi merusak moral masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang sering kali membeli kupon dengan harapan kosong.

Penolakan pun datang dari berbagai kelompok masyarakat yang menilai SDSB sebagai bentuk perjudian terselubung. Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada 1991 ketika mahasiswa Universitas Islam Indonesia menolak sumbangan SDSB untuk pembangunan kampus dan memicu gelombang demonstrasi di Yogyakarta yang diikuti ribuan mahasiswa dari berbagai universitas.

Kritik paling tajam tertuju pada kurangnya transparansi pengelolaan dana dan kenyataan bahwa SDSB dijalankan oleh yayasan swasta yang meskipun resmi, tetap mengaburkan batas antara kebijakan negara dan kepentingan bisnis. Bahkan ditemukan kasus penipuan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah akibat kecanduan membeli kupon Porkas.

Lihat Juga :  Rahasia Gelap di Balik Suntikan: Kasus Vaksin Tetanus yang Merenggut Nyawa

Tekanan publik semakin besar, hingga akhirnya pada November 1993, Menteri Sosial Endang Kusuma Inten Soeweno secara resmi mengumumkan penghentian program SDSB. Penghentian ini menjadi penanda berakhirnya era perjudian legal yang difasilitasi negara di Indonesia.

Kupon baru benar-benar ditarik dari peredaran sepenuhnya pada 24 November 1993, sehari sebelum pengumuman resmi pembubaran program dilakukan. Itulah akhir dari satu babak sejarah panjang di mana negara pernah merangkul perjudian sebagai instrumen pembangunan sosial.

Meskipun telah lama dihentikan, kenangan akan SDSB tetap membekas sebagai satu babak sejarah di mana negara pernah mengandalkan mekanisme undian sebagai sumber dana pembangunan, namun harus berhadapan dengan kenyataan sosial dan etika yang tidak bisa diabaikan. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos