TASIKMALAYA | Priangan.com – Krisis rumah tangga di Kota Tasikmalaya kian meresahkan. Data terbaru dari Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya mencatat bahwa lebih dari 2.000 pasangan suami istri telah resmi mengakhiri pernikahan mereka sepanjang tahun ini.
Fenomena yang terus meningkat setiap tahun ini ternyata menyimpan persoalan mendalam: pinjaman online (pinjol) menjadi penyebab dominan retaknya rumah tangga.
Ketua Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya, Endang Rosmala Dewi, mengungkapkan bahwa perceraian bukan lagi sekadar persoalan klasik seperti ketidakharmonisan atau kehadiran orang ketiga. Kini, beban finansial akibat lilitan utang dari aplikasi pinjaman daring menjadi salah satu pemicu utama gugatan cerai yang diterima pihaknya.
“Masalah ekonomi memang menjadi penyebab utama perceraian. Namun, dalam dua tahun terakhir, kami melihat pola baru. Banyak pasangan, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, menghadapi konflik serius akibat jeratan pinjol yang tidak diketahui pasangannya,” kata Endang saat ditemui usai menghadiri sidang isbat nikah terpadu, Kamis (22/5/2025).
Endang menuturkan bahwa sebagian besar pasangan yang mengajukan cerai mengaku pertengkaran mereka berakar dari utang konsumtif yang disembunyikan, terutama oleh salah satu pihak.
Suami atau istri terkejut ketika mengetahui tagihan besar dari layanan pinjaman digital muncul, padahal mereka tidak pernah membicarakan soal pinjaman sebelumnya.
“Dalam banyak kasus, pengajuan pinjaman dilakukan secara diam-diam. Saat tagihan membengkak dan debt collector mulai datang ke rumah atau menelpon orang-orang terdekat, di situlah konflik memuncak,” ungkapnya.
Perselisihan yang berawal dari kecurigaan kemudian menjalar menjadi pertengkaran rutin. Tidak sedikit pula yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.
Endang menambahkan, pinjaman online seringkali digunakan bukan untuk kebutuhan mendesak, melainkan gaya hidup dan konsumsi harian yang sebenarnya tidak perlu.
Dalam menghadapi lonjakan perkara, Pengadilan Agama Kota Tasikmalaya telah menerapkan layanan E-Court, yaitu sistem pendaftaran perkara secara daring. Masyarakat dapat mendaftarkan gugatan cerai tanpa harus datang langsung ke pengadilan.
Namun Endang menekankan, kemudahan teknologi ini tidak boleh disalahartikan sebagai ‘jalan cepat’ menuju perceraian.
“Kami tetap memfasilitasi mediasi, karena tujuan utama kami bukan sekadar mengesahkan perceraian, tetapi mengupayakan perdamaian. Kami sering menemukan bahwa pasangan sebenarnya bisa diselamatkan jika komunikasi diperbaiki lebih awal,” ujarnya.
Lonjakan angka perceraian ini tentu berdampak besar, terutama bagi anak-anak. Menurut Endang, banyak anak yang akhirnya tumbuh tanpa pendampingan penuh dari kedua orang tua, dan ini menjadi perhatian serius dari pihaknya serta Dinas Sosial.
“Perceraian bukan hanya soal dua orang dewasa. Anak-anak jadi korban utama, dan dampaknya bisa jangka panjang, baik psikologis maupun sosial,” jelasnya.
Endang mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan dan menggunakan teknologi. Ia berharap pasangan suami istri mau berdiskusi terbuka soal keuangan keluarga dan saling transparan, terutama dalam mengambil keputusan finansial seperti meminjam uang.
“Sebelum pinjam, pikirkan siapa yang akan menanggung dampaknya. Kami ingin masyarakat memahami bahwa satu klik di aplikasi pinjol bisa menghancurkan seluruh bangunan rumah tangga,” pungkasnya. (yna)

















