MADIUN | Priangan.com – Mary Emmie Josephine Manuel, lebih dikenal sebagai Mary Manuel, lahir pada tahun 1868 di Jonggrangan, Klaten. Dari pasangan Joseph August Manuel dan Elisabeth Janssen, Mary dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kaya dan terpandang. Ketika ayahnya dipindah tugas sebagai pengawas jalur kereta api Madiun-Solo, Mary mengikuti, dan mereka tinggal di kawasan pemukiman Eropa yang dikenal sebagai Loji Residentielaan di Madiun.
Kehidupan Mary tidak terlepas dari status sosial yang tinggi. Sebagai pewaris tunggal setelah kedua orang tuanya wafat, ia mewarisi seluruh harta kekayaan keluarga, termasuk saham senilai 80.000 gulden di Indische Leening dan perhiasan bernilai 5.000 gulden.
Walau diliputi kekayaan, Mary adalah sosok yang penuh misteri. Dia dikenal sering menghabiskan waktu menonton film dengan gaun panjang dan korset, menciptakan suasana glamor di tengah masyarakat yang sederhana. Malam harinya, suara piano yang ia mainkan dari dalam rumahnya sering kali menggema hingga ke jalanan, membuat warga sekitar merasa was-was.
Menariknya, meskipun memiliki segalanya, Mary memilih untuk tidak menikah dan menghabiskan hidupnya sendiri di rumah yang besar dan megah. Keputusan ini menciptakan citra Mary sebagai sosok yang mandiri, meskipun juga diwarnai dengan kesepian.
Kisah hidup Mary berakhir dengan tragis pada tahun 1928 ketika ia ditemukan meninggal dunia di kamar tidurnya tanpa diketahui penyebabnya. Penemuan ini dilakukan oleh seorang pembantu yang bekerja untuknya. Di samping tempat tidurnya, ditemukan sepucuk surat wasiat yang menakjubkan.
Dalam wasiat itu, Mary mewariskan seluruh hartanya kepada Gemeente Madiun dan meminta agar kediamannya dijadikan gedung pertunjukan seni atau bioskop. Jika permintaan itu tidak dapat dipenuhi, harta yang tersisa akan diserahkan kepada Panti Asuhan Gereja Katolik.
Mary juga menginginkan agar dirinya dimakamkan di samping ibunya, menegaskan rasa cinta dan keterikatan yang mendalam pada keluarga. Namun, meski keinginannya itu sederhana, kondisi makamnya saat ini sangat memprihatinkan dan tidak terawat, jauh dari gambaran sosok terpandang yang ia miliki di masa lalu.
Jejak kekayaan dan warisan Mary masih dapat dirasakan oleh masyarakat Madiun hingga saat ini. Pusat perbelanjaan dan bioskop Plaza Lawu, yang dulunya merupakan rumah Mary, adalah contoh nyata dari wasiatnya untuk menjadikan tempat tersebut sebagai sarana budaya. Sejak direnovasi pada tahun 2017, Plaza Lawu mengalami beberapa perubahan nama dan fungsi, namun esensi dari niat Mary untuk menghidupkan seni dan budaya tetap bertahan.
Makam Mary yang terletak di Europesche Graaf Madiun kini menjadi pengingat akan kekayaan dan kontribusinya, meskipun terabaikan. Makam tersebut, terbuat dari marmer yang diimpor dari Italia, dulunya dihiasi dengan monumen obelisk yang kini telah hilang. Hanya tersisa batu nisan besar tanpa nama, mencerminkan bagaimana sejarah sering kali mengabaikan mereka yang pernah berjaya.
Mary Manuel bukan hanya sekadar seorang perempuan kaya di masa kolonial, tetapi juga simbol dari keberanian, kebebasan, dan kompleksitas kehidupan perempuan pada masanya. Kisahnya mengajak kita untuk menghargai warisan sejarah dan mengenang mereka yang telah berkontribusi pada pembangunan masyarakat. Dalam setiap sudut kota Madiun, jejak Mary tetap hidup, mengingatkan kita akan kekayaan sejarah dan budaya yang terus menginspirasi generasi mendatang. (mth)