Jejak Sawit: Sempat Dikira Sekadar Tanaman Hias Biasa, Padahal Kini Menjadi Tulang Punggung Ekonomi Indonesia

JAKARTA | Priangan.com – Indonesia kini di awal 2025 tetap di puncak produksi kelapa sawit dunia, dengan angka produksi CPO yang telah melampaui 50 juta ton sejak 2023 dan terus bertumbuh. Sejarah panjangnya menempuh berbagai tahapan sebelum menjadi komoditas utama global.

Tanaman ini pertama kali dimanfaatkan masyarakat Afrika Barat sejak abad ke-15, bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai komoditas dagang penting. Saat era perdagangan budak memuncak, minyak ini bahkan diangkut bersama para tawanan sebagai nutrisi penting selama pelayaran laut.

Ketika Inggris melarang perbudakan pada 1807 dan menghapus bea cukai pada 1845, minyak sawit Afrika Barat merajai pasar Eropa. Di benua itu, ia diolah menjadi sabun, lilin, dan pelumas, meski produksi masih berskala kecil dan tradisional.

Pada 1911, William Lever, seorang pendiri Lever Brothers yang merupakan cikal bakal Unilever, berhasil mendapatkan konsesi lahan 750.000 hektar di Kongo. Ia mendirikan Huileries du Congo Belge dan membangun perkebunan sawit modern, meski praktik perekrutan paksa dan infrastruktur terbatas memicu kritik.

Empat bibit sawit kemudian dibawa ke Asia Tenggara pada 1848 oleh ahli botani Belanda Dr. D. T. Prye, ditanam di Kebun Raya Bogor. Awalnya hanya dianggap tanaman hias eksotis dengan bentuknya yang menarik, tapi belum dianggap bernilai komersial.

Titik balik terjadi ketika Adrien Hallet, pengusaha Belgia pemilik Socfin, melihat sawit tumbuh subur di pinggir jalan Tanjung Morawa, Sumatera Utara. Pada 1911 ia menanam secara komersial di Sungai Liput, Aceh, membuka era baru budidaya kelapa sawit di Indonesia.

Deli Maatschappij, perusahaan Belanda di Distrik Deli, mengikuti jejak Hallet. Laporan J. Kroll menyebut bahwa hasil minyak di sana bahkan lebih unggul daripada habitat aslinya di Afrika Barat.

Lihat Juga :  Tak Hanya Demo, Perjuangan Buruh Menggema di Balik Tirai Hukum Pada 1937

Pada 1916 AVROS mendirikan APA di Medan untuk riset karet, tapi segera melakukan uji coba perbenihan sawit di Marihat. Dalam empat tahun, perusahaan perkebunan sawit meroket dari 19 menjadi 34, dan pabrik pengolahan pertama berdiri.

Puncaknya pada 1937, Indonesia mengekspor 40 % CPO dunia, menyalip Nigeria. Namun Perang Dunia II dan pendudukan Jepang meruntuhkan produksi, turun dari 239 ribu ton di tahun 1940 menjadi 147 ribu ton di tahun 1958.

Lihat Juga :  Kota Thiers dan Rahasia Teknik Unik di Balik Ketajaman Pisau Prancis

Pasca kemerdekaan, kebijakan nasionalisasi dan ketidakpastian politik menahan laju investasi. Sementara Malaysia yang merdeka lebih awal terbuka terhadap modal asing dan mengambil alih posisi terdepan.

Baru pada era Orde Baru setelah 1966, pemerintah membuka pintu bagi investasi besar dengan dukungan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Dekade 1980-an sawit berkembang pesat. Lahan naik dari 150 ribu hektar pada 1970 menjadi 600 ribu hektar pada 1985, lalu 3,9 juta hektar pada 1999.

Memasuki 2025, data Kementerian Pertanian mencatat lahan kelapa sawit di Indonesia masih stabil di kisaran 17,3 juta hektar. Produksi CPO tercatat terus melewati angka 50 juta ton per-tahun, menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin dunia.

Kelapa sawit telah menempuh perjalanan panjang sejak bibit hias di Kebun Raya Bogor, melewati era kolonial dan perang dunia, hingga menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional. Keberlanjutan masa depan industri ini bergantung pada keseimbangan antara kemajuan teknologi, kebijakan yang tepat, dan komitmen semua pemangku kepentingan untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Dengan terus beradaptasi pada tuntutan global, Indonesia memiliki peluang untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya sekaligus memastikan bahwa kelapa sawit tetap menjadi sumber kemakmuran yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos