Jejak Darah di Cemetuk: Tragedi Pembantaian 62 Pemuda Ansor Banyuwangi Tahun 1965

BANYUWANGI | Priangan.com – Senin, 18 Oktober 1965, Dusun Cemetuk di Kecamatan Cluring, Banyuwangi, menjadi saksi bisu dari peristiwa kelam yang mengguncang sejarah Indonesia. Di tengah suasana tegang pasca meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, ketegangan politik antara kelompok pro-komunis dan kelompok keagamaan mencapai puncaknya.

Di kawasan pedesaan yang tenang itu, sebanyak 62 pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Ansor dilaporkan menjadi korban pembunuhan massal. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi Cemetuk, sebuah episode kelam yang masih meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Banyuwangi.

Para korban disebut berasal dari Kecamatan Muncar. Mereka sedang dalam perjalanan menuju Kalibaru dengan menggunakan truk, sebelum dihadang sekelompok orang bersenjata di sekitar wilayah Karangasem yang kini termasuk Desa Yosomulyo, Gambiran. Rombongan yang tak menyangka akan mengalami serangan mendadak itu dipaksa turun dan dibawa ke arah Cemetuk. Di sanalah kekerasan terjadi, menewaskan puluhan pemuda yang kala itu dikenal aktif dalam kegiatan organisasi dan keagamaan.

Beberapa kesaksian masyarakat setempat yang masih hidup menyebut bahwa sebelum pembantaian, para pemuda itu sempat diundang untuk makan bersama oleh warga yang dianggap simpatisan kelompok tertentu. Dugaan yang beredar menyebut bahwa sebagian makanan telah diberi racun sebelum mereka akhirnya diserang dengan senjata tajam.

Dalam waktu singkat, puluhan nyawa melayang, dan jasad para korban kemudian dibuang ke tiga lubang besar di area perkebunan Cemetuk. Salah satu lubang dikabarkan berukuran sekitar dua kali tujuh meter dan menjadi tempat dikuburnya sebagian besar korban, sedangkan dua lubang lainnya berisi sisanya.

Tragedi yang berlangsung di wilayah sunyi itu sempat lama tidak diketahui publik karena berlangsung di tengah kekacauan nasional. Baru setelah aparat keamanan tiba di lokasi beberapa hari kemudian, jasad-jasad korban berhasil dievakuasi. Keluarga korban yang kehilangan anggota keluarganya hanya bisa pasrah. Sebagian besar dari mereka tidak sempat menyaksikan pemakaman, sebab jenazah sudah dalam kondisi sulit dikenali.

Lihat Juga :  Jejak Sejarah Aneksasi Texas oleh Amerika

Latar peristiwa ini tidak lepas dari ketegangan politik yang melanda Indonesia pada tahun 1965. Di Banyuwangi, situasi ideologi pada waktu itu cukup tajam antara kelompok yang berafiliasi pada PKI dengan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan sayap pemudanya, GP Ansor. Perbedaan pandangan itu menjalar hingga ke lapisan masyarakat bawah, menimbulkan gesekan sosial yang pada akhirnya memicu kekerasan. Dalam konteks itu, pembantaian di Cemetuk menjadi salah satu contoh nyata bagaimana konflik nasional berubah menjadi tragedi kemanusiaan di tingkat lokal.

Lihat Juga :  Tiga Versi Sejarah Silat Cimande, Seni Bela Diri Tertua di Indonesia

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Banyuwangi berusaha menjaga ingatan atas kejadian tersebut. Di lokasi pembantaian kini berdiri sebuah monumen bernama Pancasila Jaya. Monumen ini dibangun sebagai pengingat akan pengorbanan para korban serta peringatan agar perpecahan ideologi tidak lagi menimbulkan pertumpahan darah di antara sesama anak bangsa. Setiap tahun, terutama menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, ratusan orang datang untuk berziarah, berdoa, dan menabur bunga di area tersebut.

Bagi warga Banyuwangi, Tragedi Cemetuk bukan sekadar catatan sejarah yang tertulis di buku. Ia hidup dalam ingatan kolektif masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kisah itu menjadi pengingat bahwa perbedaan pandangan tidak semestinya diakhiri dengan kebencian. Tragedi 18 Oktober 1965 menjadi pelajaran berharga tentang bahaya fanatisme dan pentingnya menjaga kemanusiaan di atas segala kepentingan politik.  (wrd)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos