BERLIN | Priangan.com – Ada banyak kisah seram yang terjadi selama perang dunia II. Salah satunya adalah ketika Nazi berkuasa. Bagi kaum Yahudi, periode itu mungkin menjadi yang paling suram. Mereka selalu jadi target utama berbagai kebijakan kejam. Jangankan berharap kehidupan yang tenang, untuk sekadar bertahan hidup saja harus diperoleh dengan perjuangan yang luar biasa berat.
Tak terhitung jumlah kaum Yahudi yang kehilangan nyawa akibat bebagai kebijakan brutal tersebut. Kehidupan mereka dianggap tak lagi berharga. Layaknya seekor binatang peliharaan yang dapat diperlakukan semena-mena oleh tuannya. Hak-hak mereka dicabut, dan mereka dipaksa tunduk sepenuhnya pada perintah Nazi. Salah satu fase awal yang menandai awal penderitaan besar bagi kaum Yahudi ini adalah kehidupan di Ghetto.
Ghetto sendiri merupakan pemukiman khusus yang disediakan oleh Nazi untuk kaum Yahudi. Tempat ini biasanya digunakan sebelum mereka dipindahkan ke kamp-kamp konsentrasi. Maka tak ayal kalau sebagian orang mengibaratkan Ghetto sebagai gerbang neraka bagi kaum Yahudi.
Pada saat itu, Ghetto dibuat sebagai bagian dari kebijakan anti-Semit Nazi untuk memisahkan dan mengisolasi kaum Yahudi dari masyarakat lainnya. Tercatat, selama mereka berkuasa, ada lebih dari seribu Ghetto yang didirikan di berbagai wilayah pendudukan Jerman.
Ghetto Warsawa, misalnya, Ghetto yang terletak di kawasan Polandia ini menjadi yang terbesar. Di atas areal kurang lebih dua kilometer persegi, ada lebih dari 400.000 kaum Yahudi yang dipaksa hidup di sana dalam keadaan sesak dan tak manusiawi.
Bila dibagi berdasarkan jenisnya, Nazi memiliki tiga tipe Ghetto. Ghetto pertama adalah Ghetto terbuka yang tidak memiliki sisi tembok atau pagar di sekelilingnya. Kendati begitu, Ghetto ini dijaga dan diawasi secara ketat oleh pasukan Nazi. Yang kedua adalah Ghetto tertutup. Ghetto ini dikelilingi oleh tembok besar yang bagian atasnya ditaruh kawat berduri. Sementara Ghetto yang ketiga adalah Ghetto penghancuran, tempat transit terakhir Kaum Yahudi sebelum mereka dideportasi ke kamp-kamp konsentrasi untuk diberangus.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, keadaan penuh sesak selalu dirasakan oleh orang Yahudi saat tinggal di Getto. Mereka tak jarang harus berbagi tempat tidur di satu ruangan kecil dengan prang Yahudi lainnya. Tak hanya itu, kehidupan di Ghetoo juga sangat memprihatinkan lantaran kurangnya pasokan air bersih, makanan, serta fasilitas medis.
Tak jarang, sebelum dikirim ke kamp konsentrasi, ada banyak di antara mereka yang harus mati kelaparan atau karena mengidap penyakit tifus. Maka sebagai upaya bertahan hidup, orang-orang Yahudi di sana kerap memanfaatkan pasar gelap dengan cara menukarkan barang-barang berharga yang masih mereka miliki baik dengan makanan maupun minuman yang layak.
Lantaran itulah, hingga saat ini, Ghetto masih dikenal sebagai salah satu simbol kekejaman sistematis yang pernah dilakukan oleh Nazi untuk memusnahkan kaum Yahudi di masa silam. (ersuwa)