JAKARTA | Priangan.com – Ada beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno mengeluarkan seruan tersebut. Salah satunya adalah keterlibatan Inggris dalam pembentukan federasi. Soekarno menilai, keterlibatan itu sebagai bentuk neokolonialisme di Asia Tenggara.
Perjanjian pertahanan antara Inggris dengan Malaya yang menjadi pintu masuk untuk membuat persekutuan besar dengan melibatkan Brunei, Singapura, Serawak dan Sabah/Kalimantan Utara, diyakini hanya akal-akalan Inggris saja demi memperluas pengaruhnya yang berpotensi mengancam posisi geopolitik Indoesia dan stabilitas kawasan.
Pasca menyuarakan aksi Ganyang Malaysia, Soekarno kemudian mengeluarkan instruksi Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Instruksi tersebut berisikan dua poin utama. Pertama, menyerukan untuk memperhebat ketahanan revolusi Indonesia. Sementara yang kedua, menyerukan agar membantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan membubarkan negara Malaysia.
Berbagai konflik pun akhirnya pecah setelah kebijakan itu mulai dijalankan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Kalimantan Utara dan Semenanjung Malaya. Puncak ketegangan terjadi hingga Oktober 1964, dimana konflik mulai meluas sampai ke sejumlah wilayah di perbatasan Kalimantan.
Melihat kondisi yang kian memanas, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kemudian menyerukan untuk menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) guna mendamaikan dua negara serumpun yang tengah bertikai itu. Cara-cara yang semula dijalankan lewat upaya konfrontasi, perlahan mulai beralih dengan upaya-upaya diplomatik pasca PBB turun tangan.
Upaya diplomasi semakin kuat pasca kekuasaan Soekarno melemah akibat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hingga tepat pada 12 Agustus 1966, kedua negara akhirnya bersedia menandatangani kesepakatan damai setelah bertikai selama kurang lebih dua tahun lamanya. Tak lama setelah itu, Indonesia yang semula sempat keluar dari PBB pun, akhirnya kembali bergabung pada 28 September 1966. (ersuwa)