BEIJING | Priangan.com – Berabad-abad lamanya, kehidupan masyarakat Tiongkok tidak terpisahkan oleh Sungai Huang He. Sungai yang juga akrab dengan nama Sungai Kuning ini mengalir dari Dataran Tinggi Tibet hingga ke Laut Bohai, menyuburkan tanah pertanian dan menghidupi peradaban awal. Karena perannya yang begitu besar, ia diberi julukan “Ibu Tiongkok”.
Namun, sungai yang memberi kehidupan itu juga menyimpan paradoks. Kandungan lumpur loess yang sangat tinggi membuat dasar sungai terus meninggi, menjadikannya rawan meluap. Tidak heran jika Sungai Kuning juga dikenal sebagai “Kesedihan Tiongkok”, karena banjir-banjirnya telah berkali-kali menimbulkan penderitaan besar.
Sejak masa dinasti-dinasti awal, sejarah mencatat banyak sekali banjir yang menghancurkan desa, kota, bahkan menggoyahkan stabilitas pemerintahan. Beberapa di antaranya begitu tragis hingga tercatat sebagai bencana terbesar dalam sejarah umat manusia. Banjir besar tahun 1887 di Henan, misalnya, menewaskan lebih dari 900.000 orang. Lalu banjir tahun 1931, ketika Sungai Kuning, Yangtze, dan Huai meluap bersamaan, merenggut hingga 2 juta jiwa. Peristiwa-peristiwa ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh sungai tersebut terhadap kehidupan masyarakat Tiongkok.
Memasuki tahun 1930-an, pemerintah Nasionalis sebenarnya sedang berupaya memperbaiki tanggul untuk mengendalikan aliran sungai. Namun upaya itu terhenti ketika Jepang menginvasi Tiongkok pada 1937. Dalam waktu singkat, pasukan Jepang merebut banyak kota penting dan mengancam jalur kereta Longhai, jalur vital yang menjadi penghubung wilayah timur dan barat. Situasi semakin sulit, sementara pasukan Nasionalis kekurangan tenaga, senjata, dan moral.
Dilansir dari Amusing Planet, di tengah tekanan ini, para komandan lapangan mengusulkan tindakan yang ekstrem, dengan menjadikan Sungai Kuning sebagai penghalang alami dengan cara meruntuhkan tanggulnya.
Lokasi yang akhirnya dipilih adalah Huayuankou, sebuah desa yang berada di tepi selatan sungai. Upaya awal meledakkan tanggul tidak berhasil, sehingga tentara dan warga digerakkan untuk menggali secara manual.
Pada 11 Juni 1938, tanggul itu akhirnya jebol. Dalam sekejap, air bah melesat keluar dan menyapu dataran luas di Henan, Anhui, dan Jiangsu. Tidak seperti banjir biasa, arus yang deras membuat aliran sungai berpindah ke selatan dan tetap berada di jalur baru itu hingga hampir satu dekade berikutnya.
Dampaknya sangat menghancurkan. Dalam hitungan jam, ratusan desa hilang, ladang-ladang tenggelam, dan ribuan keluarga tercerai-berai. Kawasan yang terendam mencapai puluhan ribu kilometer persegi. Lahan yang dulunya subur berubah menjadi daerah tergenang yang tidak dapat ditanami selama bertahun-tahun.
Korban tewas diperkirakan antara 500.000 hingga 900.000 orang, sebagian besar bukan hanya karena tersapu banjir, tetapi juga akibat kelaparan, penyakit, dan kondisi pengungsian yang sangat buruk. Lebih dari 3 juta orang kehilangan tempat tinggal.
Meskipun demikian, dalam konteks militer, dampaknya tidak sepenuhnya sia-sia. Banjir itu memang tidak berhasil mencegah Jepang merebut Wuhan, tetapi membuat wilayah Henan utara dan tengah berubah menjadi rawa luas yang sulit dilalui.
Akibatnya, Jepang membatalkan rencana bergerak lebih jauh ke barat menuju Shaanxi dan Sichuan, daerah yang menjadi benteng terakhir Pemerintahan Nasionalis. Dengan kata lain, banjir ini membantu mencegah serangan darat yang berpotensi menggulingkan pemerintahan Tiongkok sepenuhnya. Walakin, keberhasilan strategis itu datang dengan harga yang sangat mahal dan penderitaan rakyat jauh melebihi manfaat militernya.
Bagi penduduk yang tinggal di provinsi yang terdampak, banjir ini meninggalkan trauma mendalam. Banyak penyintas menceritakan bagaimana mereka melihat desa-desa hanyut, hewan ternak dan manusia terbawa arus bersama, serta jasad yang bergelimpangan berhari-hari. Gelombang pengungsi membanjiri kota-kota yang sudah kesulitan bahan pangan karena perang.
Pemerintah Nasionalis awalnya berusaha menutupi fakta dengan menyalahkan Jepang atas jebolnya tanggul itu. Baru setelah perang berakhir pada 1945, pemerintah mengakui bahwa banjir itu sengaja dilakukan sebagai taktik militer.
Tindakan tersebut menimbulkan rasa marah yang besar di pedesaan. Para petani yang selamat merasa ditinggalkan tanpa bantuan memadai, sementara lahan-lahan pertanian mereka tetap rusak bertahun-tahun setelah banjir surut.
Situasi ini dimanfaatkan dengan cerdik oleh Partai Komunis yang menampilkan diri sebagai pembela rakyat kecil dan menuduh pemerintah Nasionalis tidak peduli pada keselamatan warga.
Ketika perang usai, upaya mengembalikan aliran Sungai Kuning pada 1947 kembali menimbulkan pengungsian dan banjir lokal baru, sehingga penderitaan belum benar-benar berakhir.
Sampai hari ini, peristiwa banjir 1938 tetap menjadi salah satu keputusan paling kontroversial dalam sejarah modern Tiongkok. Sebagian orang menganggapnya tindakan terpaksa demi melindungi pusat kekuasaan Tiongkok dari kehancuran total. Meski banyak pula yang melihatnya sebagai tragedi yang tidak dapat dibenarkan, sebab datang dari keputusan sebuah pemerintahan yang rela mengorbankan rakyatnya sendiri. (LSA)

















