Ruang Tebusan Atahualpa: Saat Kekaisaran Bergantung pada Segenggam Emas

CAJAMARCA | Priangan.com – Di dataran tinggi Andes, pernah terjadi peristiwa kehancuran sebuah kekaisaran besar yang melibatkan satu ruangan kecil dan segenggam emas. Di sanalah, pada abad ke-16, nasib Kekaisaran Inca ditentukan bukan di medan perang besar, melainkan di sebuah kota kecil bernama Cajamarca, tempat seorang raja ditukar dengan harta karun.

Kisah ini bermula, ketika Kekaisaran Inca tengah berada di puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaan mereka membentang dari perbatasan Ekuador hingga Chili tengah, mencakup pesisir Pasifik dan dataran tinggi Andes.

Namun di balik kemegahannya, konflik mengintai. Perang saudara pecah antara dua pangeran Inca, Atahualpa dan Huáscar. Setelah tiga tahun pertempuran yang melelahkan, Atahualpa keluar sebagai pemenang dan mengklaim takhta. Ia memerintah dari wilayah utara, tak menyadari bahwa ancaman yang jauh lebih besar tengah mendekat dari arah laut.

Pada Januari 1531, sebuah ekspedisi kecil Spanyol yang dipimpin Francisco Pizarro mendarat di Pulau Puna. Meski hanya membawa 168 tentara dan sekitar dua lusin kuda, mereka memiliki keunggulan besar dalam teknologi perang. Baja, senjata api, dan kuda menjadikan mereka kekuatan yang mematikan.

Pizarro dan pasukannya menyusuri wilayah Inca hingga tiba di Cajamarca pada akhir 1532. Di sanalah mereka akan bertemu dengan sang penguasa Inca yang baru.

Pertemuan antara Atahualpa dan Pizarro berlangsung dalam suasana yang penuh kehati-hatian. Atahualpa, yang memimpin hampir 80.000 tentara hasil kemenangan perang saudara, merasa tidak terancam oleh rombongan kecil orang asing itu. Ia bahkan berencana menjebak mereka dalam penyergapan.

Namun, rencana itu berbalik arah. Dalam satu manuver yang mengejutkan, pasukan Pizarro melancarkan serangan kilat. Dalam kekacauan yang berlangsung sangat singkat, pasukan Inca dihancurkan dan Atahualpa ditangkap hidup-hidup.

Lihat Juga :  Jejak Sawit: Sempat Dikira Sekadar Tanaman Hias Biasa, Padahal Kini Menjadi Tulang Punggung Ekonomi Indonesia

Setelah penangkapannya, Atahualpa mulai menyadari tujuan sebenarnya dari para penjajah adalah emas dan perak. Ia menyaksikan kuil-kuil dan perkemahan dijarah tanpa ampun.

Untuk menyelamatkan dirinya, ia mengusulkan kesepakatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menawarkan tebusan, yaitu sebuah ruangan akan diisi penuh dengan emas setinggi lengannya yang terulur, dan dua kali lipat dengan perak. Panjang ruangan itu sekitar 22 kaki, lebarnya 17 kaki, dan tinggi yang dijanjikan melebihi delapan kaki, ditandai hingga kini dengan garis merah di dinding.

Selama dua bulan berikutnya, emas dan perak mengalir dari seluruh penjuru kekaisaran. Karya seni, patung kuil, perhiasan, bahkan benda pusaka ikut dikumpulkan dan dibawa ke Cajamarca. Orang-orang Spanyol, dalam upaya mempercepat proses, mereka menghancurkan benda-benda besar agar mudah dilebur.

Lihat Juga :  Sejarah Kelam Kampanye Empat Hama di Tiongkok

Akhirnya, terkumpul lebih dari 6.000 kilogram emas dan dua kali lipatnya dalam perak, jumlah yang jika dihitung berdasarkan nilai sekarang setara dengan hampir setengah miliar dolar. Harta ini kemudian dilebur menjadi emas 22 karat dan dibagi-bagikan. Bahkan prajurit berpangkat paling rendah menerima bagian yang luar biasa, sekitar 20 kilogram emas dan 40 kilogram perak.

Namun, tumpukan harta itu tidak membawa kebebasan bagi Atahualpa. Ketakutan akan serangan dari sisa pasukan Inca yang mulai bangkit kembali membuat para penakluk ragu untuk mempertahankan sang kaisar.

Tiga jenderal Inca, yaitu Quisquis, Chalcuchima, dan Rumiñahui, telah mengonsolidasikan kekuatan. Dalam tekanan dan rasa curiga, Pizarro memutuskan untuk menyingkirkan Atahualpa. Pengadilan palsu diadakan, dan sang raja dituduh memberontak terhadap Spanyol, menyembah berhala, serta membunuh saudaranya sendiri.

Atahualpa dijatuhi hukuman mati dibakar. Namun, saat mengetahui bahwa menurut kepercayaannya jiwanya tidak akan bisa hidup kembali jika tubuhnya dibakar, ia memohon agar dieksekusi dengan cara lain.

Lihat Juga :  Sungai Merah, Kota yang Berdarah: Pembantaian 10.000 Warga Tionghoa Tahun 1740

Seorang biarawan Katolik, Friar Vicente de Valverde, menyarankan agar Atahualpa dibaptis terlebih dahulu, agar ia bisa dihukum mati dengan dicekik. Atahualpa menyetujui, dibaptis dengan nama Francisco Atahualpa dan dieksekusi dengan garrote pada 26 Juli 1533.

Hari ini, Cuarto de Rescate masih berdiri di kota Cajamarca. Bangunannya terbuat dari batu vulkanik dan meskipun sebagian rusak akibat polusi dan cuaca, dindingnya masih utuh. Di dalamnya, garis merah yang menandai tinggi jangkauan Atahualpa masih terlihat. Ini menjadi sebuah pengingat bisu tentang akhir tragis seorang penguasa dan pertemuan berdarah antara dua dunia yang tak pernah bisa didamaikan sepenuhnya. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos