TASIKMALAYA | Priangan.com – Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Tasikmalaya, KH Acep Tohir Fuad, mengungkap pengalaman tak biasa. Ia didatangi aparat dari Polda Jawa Barat sebanyak tiga kali dalam satu hari.
Cerita itu disampaikannya saat memberi tausiah dalam acara halalbihalal dan silaturahmi PCNU di kantor PCNU Tasikmalaya, Minggu (13/4/2025).
Menurut Kiai Acep, kunjungan pertama terjadi sebelum waktu zuhur. Dua intel dari kepolisian datang untuk meminta masukan terkait situasi yang memanas di Tasikmalaya, menyusul pemanggilan sejumlah tokoh agama oleh Polda Jabar.
Tak lama setelah itu, kunjungan kedua datang usai salat zuhur, kali ini juga oleh aparat dengan maksud serupa. Namun yang paling mengejutkan, pada kunjungan ketiga, seorang petinggi Polda Jabar datang langsung ke kediaman Kiai Acep.
“Beliau datang dan menyatakan siap berada di garda terdepan membela para ulama Tasikmalaya,” kata Kiai Acep dalam tausiahnya.
Pernyataan aparat itu disampaikan setelah Kiai Acep memberikan saran agar Polda Jabar menghentikan pemanggilan terhadap para tokoh agama terkait dana hibah. Ia menilai, penghentian itu penting untuk meredam kegelisahan di tengah masyarakat.
“Kalau ingin Tasikmalaya tetap kondusif, hentikan pemanggilan itu. Itu obat mujarab agar tidak muncul ekses lebih besar,” ujar Kiai Acep.
Ketegangan ini dipicu oleh surat dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar tertanggal 26 Maret 2025. Dalam surat tersebut, puluhan tokoh agama dipanggil untuk dimintai klarifikasi terkait dana hibah dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tahun anggaran 2023.
Mereka yang dipanggil termasuk tokoh-tokoh penting seperti Ketua Muslimat NU, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat NU, Ketua Badan Wakaf Indonesia, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, hingga pengurus DKM Masjid Agung Baiturrahman.
Situasi ini memicu kekhawatiran publik, terlebih masyarakat Tasikmalaya masih mengingat peristiwa kelam 26 Desember 1996, ketika perlakuan aparat terhadap salah satu pimpinan pondok pesantren berujung kerusuhan massal.
Kiai Acep mengingatkan, sejarah itu seharusnya menjadi pelajaran penting agar komunikasi antara aparat dan ulama tetap dijaga dengan bijak dan penuh empati. (yna)