Demokrasi Tanpa Rakyat: Oligarki, Partai, dan Krisis Kebangsaan

Oleh: Asep Chahyanto, Pengamat Sosial Politik

GELOMBANG demonstrasi yang belakangan ini terjadi di berbagai daerah, adalah cermin kegelisahan rakyat. Mereka turun ke jalan bukan karena ingin merusak, melainkan karena merasa kedaulatannya dikebiri. Pertanyaan besar kini kembali muncul, apakah demokrasi kita masih milik rakyat, atau sudah sepenuhnya jatuh ke dalam genggaman oligarki yang menguasai partai politik?

Cengkraman Partai

Secara konstitusi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun realitas politik Indonesia justru memperlihatkan sebaliknya. Rakyat hanya berdaulat di bilik suara, sementara setelah itu kedaulatan berpindah ke partai politik. Rakyat memang bisa memilih, tetapi tidak bisa mengoreksi secara langsung wakilnya yang duduk di parlemen. Jika seorang anggota DPR melakukan pelanggaran etik atau hukum, rakyat tidak bisa melakukan recall. Yang bisa hanyalah ketua umum partai. Inilah demokrasi yang dipagari, demokrasi yang melucuti hak rakyat.

Prof. Arief Budiman sejak lama mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia kerap berhenti pada formalitas, bukan substansi. Kita memiliki pemilu, partai, dan prosedur demokratis, tetapi esensi demokrasi—yakni kedaulatan rakyat—tidak hadir secara nyata. Demokrasi yang demikian hanya melahirkan keterasingan politik, di mana rakyat menjadi penonton dalam panggung besar yang dimainkan oleh elit.
Cengkraman Oligarki.

Lebih jauh, problem utama demokrasi kita adalah keterjebakan dalam cengkeraman oligarki. Partai politik sering kali bergantung pada modal besar. Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy menyebut Indonesia sebagai “demokrasi prosedural yang dikendalikan oligarki ekonomi.” Senada dengan itu, Robison & Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia menegaskan bahwa oligarki tidak runtuh bersama Orde Baru, justru bertransformasi dan menguasai partai-partai politik pasca-Reformasi.

Dari sinilah lahir ironi politik kita. Rakyat berteriak, tetapi yang mendengar adalah pemilik modal; rakyat menuntut keadilan, tetapi kebijakan lebih sering berpihak pada mereka yang membiayai mesin partai. Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan 1977 pernah berkata, “Kita kehilangan integritas karena kekuasaan dijadikan alat memperkaya diri.” Ungkapan itu tetap relevan hari ini.

Lihat Juga :  BIAS Tekan Penyakit Menular, Ciamis Berhasil Catatkan Nol Kasus Campak

Krisis Kebangsaan

Krisis kebangsaan pun tak terelakkan. Rakyat frustrasi, mahasiswa gelisah, kepercayaan publik terhadap DPR merosot. Demonstrasi bukanlah hobi, melainkan jalan terakhir untuk menyampaikan aspirasi. Prof. Ariel Heryanto dalam karyanya Identitas dan Kenikmatan menulis bahwa demokrasi di Indonesia sering kali menjadi arena pertarungan elit, sementara rakyat ditempatkan hanya sebagai penonton.

Lihat Juga :  Jadi Cawapres Trump, JD Vance Tegaskan Kebijakan Keras Terhadap China tetap Jadi Fokus Utama

Kita dihadapkan pada demokrasi tanpa rakyat. Demokrasi seperti ini rapuh, mudah digoyang, dan kehilangan legitimasi. Franz Magnis-Suseno menegaskan, “Kalau demokrasi hanya prosedur tanpa moral, ia akan kehilangan rohnya.” Ketika moral hilang, politik hanya menjadi transaksi, dan kebangsaan pun kian keropos.

Namun kita tidak boleh kehilangan harapan. Demokrasi harus dikembalikan ke pangkuan rakyat. Jalan keluarnya bukanlah pesimisme, melainkan kesadaran kolektif. Rakyat harus terus bersuara, mahasiswa harus menjaga idealismenya, akademisi dan ulama harus menyalakan lentera moral. Hanya dengan kebersamaan, reformasi politik gelombang baru bisa lahir.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah berkata, “Kedaulatan rakyat adalah inti demokrasi, dan inti dari kedaulatan rakyat adalah kebebasan berpikir dan bersuara.” Tanpa keberanian rakyat menyuarakan kebenaran, demokrasi akan selalu terjebak dalam kepentingan elit. Sementara itu, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengingatkan, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Politik yang kehilangan sisi kemanusiaan hanyalah alat kekuasaan yang membutakan nurani.

Penutup

Oleh karena itu, kebebasan rakyat untuk berbicara, berpendapat, dan mengkritik harus dijaga dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena dijamin konstitusi, tetapi juga karena ia adalah ruh demokrasi. Tanpa suara rakyat, demokrasi hanyalah ilusi.

Bangsa ini besar karena rakyatnya. Selama rakyat masih bersuara, Indonesia tidak akan pernah kehilangan arah. Maka tugas kita adalah memastikan bahwa suara itu tidak padam, bahwa demokrasi tidak berhenti sebagai formalitas, dan bahwa kebangsaan ini tetap berpijak pada kedaulatan rakyat. (*)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos