Dari Kepompong Jadi Kain Mewah: Perjalanan Panjang Kain Sutra

BEIJING | Priangan.com – Di balik kelembutan sehelai kain sutra, tersembunyi sejarah panjang yang dimulai lebih dari lima ribu tahun lalu. Sutra bukan sekadar tekstil, melainkan simbol status, kekuasaan, dan inovasi yang pernah dijaga rapat sebagai rahasia negara.

Dalam catatan arkeologis, Cina telah memproduksi kain sutra sejak masa kebudayaan Longshan, sekitar 3500–2000 SM. Bahkan, selama lebih dari dua milenium, bangsa Tiongkok berhasil mempertahankan monopoli atas produksi sutra, menjadikannya salah satu komoditas paling berharga di dunia kuno. Kain ini melintasi benua, menyatukan Timur dan Barat melalui Jalur Sutra, memikat para bangsawan, memicu aksi penyelundupan, hingga menginspirasi dunia sains dan teknologi tekstil di kemudian hari.

Namun, di balik keagungannya, sutra berasal dari makhluk mungil yang sederhana, ulat kecil yang memintal benang dari mulutnya demi bertahan hidup. Dari proses alami inilah tercipta salah satu warisan budaya terbesar peradaban manusia.

Menurut tradisi Tiongkok, sutra pertama kali ditemukan sekitar tahun 2700–2640 SM oleh permaisuri Si Ling-Chi, istri Kaisar Kuning Huang Di.

Legenda menyebutkan bahwa Si Ling-Chi tengah menikmati teh di taman istana ketika seekor kepompong ulat sutra jatuh ke dalam cangkirnya. Air panas menyebabkan kepompong itu terurai menjadi benang panjang dan halus. Penasaran, ia pun mencoba menarik benang tersebut dan menyadari bahwa serat itu dapat dipintal menjadi kain.

Dari sinilah ia mulai mengembangkan teknik pembibitan ulat sutra dan penenunan benangnya menjadi pakaian, termasuk jubah untuk kaisar. Karena jasanya, Si Ling-Chi kemudian dikenal sebagai “Nyonya Ulat Sutra” dan dihormati sebagai dewi pembuatan sutra dalam budaya Tiongkok.

Ulat sutra berasal dari spesies ngengat Bombyx mori, yang memakan daun murbei sebagai makanan utamanya. Saat memasuki tahap metamorfosis, ulat tersebut mengeluarkan benang dari mulutnya untuk membentuk kepompong sebagai pelindung. Panjang satu helai benang dari satu kepompong bisa mencapai 300 hingga 800 meter.

Lihat Juga :  Dulu, Fenomena Gantung Bayi di Ambang Gedung jadi Hal Biasa

Dalam industri, sebagian kepompong direbus agar benangnya bisa diurai tanpa putus dan ulat di dalamnya mati sebelum berubah menjadi ngengat. Benang-benang tersebut kemudian digulung, dipilin, dan ditenun menjadi kain sutra yang lembut, hangat, dan mengilap. Kain ini pun dapat diwarnai dengan berbagai corak dan warna, serta dipadukan dari dua atau lebih helai benang untuk menambah kekuatan dan elastisitasnya.

Karena kualitasnya yang tinggi dan proses pembuatannya yang rumit, sutra menjadi barang mewah dan simbol prestise di kalangan bangsawan. Selama berabad-abad, bangsa Tiongkok merahasiakan teknik pembuatannya dari dunia luar dan memonopoli produksinya. Kain ini kemudian menjadi komoditas utama dalam perdagangan lintas benua melalui Jalur Sutra, yang membentang dari Tiongkok ke wilayah Barat seperti India, Persia, hingga Roma. Alexander Agung diyakini sebagai tokoh yang memperkenalkan sutra ke Eropa pada abad ke-4 SM, yang semakin memicu rasa penasaran dunia terhadap bahan mewah ini.

Lihat Juga :  Hattori Hanzo, Sosok Ninja yang Melegenda dengan Julukan Iblis

Monopoli sutra Tiongkok akhirnya mulai runtuh sekitar abad ke-5 Masehi. Salah satu cerita menyebutkan bahwa seorang putri Tiongkok yang hendak menikah dengan pangeran di India menyelundupkan biji murbei dan telur ulat sutra di dalam hiasan rambutnya. Ia ingin agar rakyat di negeri barunya juga dapat menikmati keindahan kain sutra.

Dalam versi lain yang dicatat oleh sejarawan Bizantium, Procopius, dua pendeta Kristen berhasil menyelundupkan telur ulat sutra ke Kekaisaran Romawi Timur, mematahkan dominasi Tiongkok dalam industri ini. Setelah itu, industri sutra mulai berkembang di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa.

Produksi sutra mulai dilakukan di Spanyol pada abad ke-8, kemudian menyebar ke Italia pada abad ke-11 yang menjadi produsen utama selama lima abad. Perancis muncul sebagai pesaing kuat pada abad ke-16. Sementara itu, Amerika Serikat juga pernah mencoba membudidayakan ulat sutra, namun biaya produksi yang tinggi membuat industri ini tidak berkembang secara ekonomi.

Lihat Juga :  Mengubah Arah, Menyelamatkan Nyawa: Pelajaran dari Hari H Swedia

Ketika negara-negara di luar Tiongkok mulai membudidayakan ulat sutra, mereka menghadapi kendala penyakit yang menurunkan kualitas kepompong. Louis Pasteur, ilmuwan Prancis, menemukan bahwa infeksi dapat diturunkan dari induk jantan dan dipicu oleh lingkungan yang tercemar. Penelitiannya diadopsi Jepang, yang kemudian berhasil mengembangkan sistem budidaya higienis dan menjadi produsen sutra terbesar di dunia, melampaui negara-negara lain seperti Tiongkok, Italia, dan India.

Kini, meski serat sintetis telah berkembang, sutra tetap istimewa. Kilau, kelembutan, dan sejarah panjangnya menjadikan kain ini simbol keindahan dan warisan budaya yang bertahan lintas zaman. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos