Historia

Cidade Flutuante, Kota di Tengah Hutan Amazon yang ditelan Modernisasi

Rumah-rumah di “Kota Terapung,” yang terletak di depan kota Manaus, di Rio Negro, pada 8 Juli 1962. | Majalah 'O Cruzeiro.

MANAUS | Priangan.com – Di tengah aliran Sungai Amazon yang luas, pernah berdiri sebuah permukiman unik di Kota Manaus, Brasil. Dikenal sebagai ‘Cidade Flutuante’ atau ‘Kota Terapung,’ tempat ini bukan sekadar deretan rumah di atas air, tetapi sebuah komunitas yang hidup dan berkembang dengan caranya sendiri.

Rumah, toko, gereja, hingga restoran berdiri di atas batang pohon yang mengapung, terhubung oleh jembatan-jembatan kayu sederhana. Pemandangan ini mencerminkan kehidupan yang begitu dekat dengan sungai, namun penuh tantangan untuk bertahan di atasnya.

Pada masa keemasannya, Kota Terapung dihuni oleh lebih dari 11.000 orang. Keunikan ini menarik perhatian wisatawan dan jurnalis hingga mendapat julukan ‘Venesia Amazon’, merujuk pada keindahan dan kehidupan terapungnya yang menyerupai Venesia di Italia. Majalah National Geographic bahkan mengangkat kisahnya pada tahun 1962, dan kota ini turut menjadi latar dalam film nominasi Oscar That Man from Rio. Namun, di balik pesonanya, kehidupan di sana penuh tantangan, dengan kemiskinan, minimnya sanitasi, serta tingginya konsumsi alkohol.

Sejarah Kota Terapung erat kaitannya dengan Masa Kejayaan Industri Karet di akhir abad ke-19. Saat itu, Manaus menjadi salah satu kota terkaya di Brasil berkat industri karet yang berkembang pesat. Keuntungan besar dari perdagangan lateks menjadikan kota ini salah satu yang pertama di Brasil dengan penerangan jalan dan gedung-gedung mewah. Namun, kejayaan ini tak bertahan lama.

Pada awal 1910-an, Inggris berhasil menyelundupkan benih pohon karet dan membudidayakannya di perkebunan Asia Tenggara. Akibatnya, Brasil kehilangan dominasinya dalam industri ini, dan Manaus mengalami kemunduran drastis. Para pekerja karet yang kehilangan pekerjaan pun bermigrasi ke kota, banyak di antaranya membangun rumah terapung sebagai cara untuk tetap bertahan tanpa harus membayar sewa atau pajak.

Tonton Juga :  Menelusuri Sejarah Kopi, Perjalanan Manis dari Ethiopia ke Seluruh Dunia

Kota Terapung berkembang pesat setelah Perang Dunia II, ketika Sekutu kehilangan akses terhadap karet dari Malaysia yang diduduki Jepang. Brasil kembali menjadi pemasok utama, dan ribuan pekerja dari wilayah miskin dikirim ke Amazon untuk menghidupkan kembali industri ini. Banyak dari mereka akhirnya menetap dan membangun kehidupan di Kota Terapung.

Kehidupan di sana bergantung pada sungai. Para nelayan, pedagang hasil hutan, dan penjual tanaman obat menjadikan kota ini pusat perdagangan terapung. Sistem ini memberi keuntungan karena memungkinkan transaksi langsung tanpa perantara, sesuatu yang kerap menimbulkan kecemburuan dari pedagang di daratan.

Namun, seiring berjalannya waktu Kota Terapung sebagai tempat yang ideal. Sebagian mengingatnya sebagai lingkungan yang kumuh dan berbahaya. Kasus tenggelam, penyakit, kondisi air sungai tercemar, dan ketimpangan sosial menjadi bagian dari kehidupan di sana.

Pada akhir 1960-an, pemerintah Brasil memutuskan untuk membongkar Kota Terapung. Dalih yang digunakan adalah faktor keamanan dan kesehatan. Tetapi alasan sebenarnya lebih besar, yaitu rencana pembentukan Zona Ekonomi Bebas di Manaus. Kawasan ini dirancang untuk menarik investasi industri dan menjadikan kota ini pusat manufaktur. Dengan ratusan rumah terapung yang menghambat akses pelabuhan dan transportasi sungai, keberadaannya dianggap sebagai penghalang bagi pertumbuhan ekonomi.

Sebagian penduduk yang beruntung direlokasi ke daerah lain, sementara yang lain harus mencari tempat tinggal sendiri. Rumah-rumah terapung mereka pun dihancurkan, menghapus jejak kehidupan yang pernah ada di atas air.

Kini, di lokasi bekas Kota Terapung, berdiri pasar kota dan pelabuhan yang sibuk. Tak ada lagi tanda-tanda dari pemukiman terapung yang dulu pernah mewarnai sejarah Manaus. Namun, bagi mereka yang pernah tinggal di sana, Kota Terapung bukan sekadar lingkungan miskin, tetapi juga sebuah simbol hubungan erat antara manusia dan alam.

Tonton Juga :  Siapa Penemu Mi Instan Pertama di Dunia?

Banyak orang mengenang Kota Terapung sebagai tempat yang penuh warna dan kehidupan, di mana orang-orang bernyanyi dan bermain gitar di atas rumah-rumah yang bergoyang mengikuti arus sungai. Bagi mereka, kehancuran kota ini menjadi simbol putusnya hubungan antara masyarakat urban dan lingkungan alamnya.

Kini, Kota Terapung hanya hidup dalam ingatan dan cerita-cerita lama. Sejarahnya mencerminkan bagaimana modernisasi dapat menghapus jejak permukiman yang telah lama berdiri. Meski telah hilang dari permukaan sungai, kisahnya tetap hidup dalam lembaran sejarah Manaus yang tak terlupakan. (LSA)

zvr
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
%d blogger menyukai ini: