Simfoni Leningrad: Ketika Sebuah Simfoni Menjadi Simbol Perlawanan dan Pertahanan

MOSKOW | Priangan.com – Pada suatu musim panas di tahun 1942, sampul majalah Time menampilkan sosok yang tak biasa. Bukan jenderal, bukan negarawan, melainkan seorang pria berkacamata tebal dengan helm baja, berdiri di atas atap bangunan. Ia tampak seperti petugas pemadam kebakaran biasa.

Namun, sosok itu adalah Dmitri Shostakovich, seorang komposer Rusia jenius yang sedang menjaga kotanya, Leningrad, dari serangan bom Jerman. Ia bukan hanya bertahan, tapi juga sedang menulis sebuah karya besar yang mengguncang dunia, yaitu Simfoni No. 7, atau yang lebih dikenal dengan Simfoni Leningrad.

Leningrad, atau yang kini menjadi St. Petersburg, sedang menghadapi masa tergelap dalam sejarahnya. Sejak tahun 1941, kota ini dikepung oleh pasukan Nazi dan sekutu Finlandia mereka dalam pengepungan yang berlangsung hampir 900 hari. Jalur pasokan diputus, makanan langka, suhu musim dingin menggigit. Orang-orang kelaparan, dan ribuan mayat dibiarkan membeku di jalanan.

Nazi sendiri sudah merancang strategi pembantaian massal lewat kelaparan, mereka secara terbuka menyatakan bahwa jutaan orang Rusia harus mati karena tidak akan diberi makanan. Di tengah kondisi inilah Shostakovich hidup, menulis, dan menolak pergi.

Setiap siang, ia menulis not-not musik di apartemennya. Setiap malam, ia berjaga di atap rumah sebagai relawan pertahanan udara. Saat sirene berbunyi, ia mengirim istri dan anaknya ke tempat perlindungan, lalu kembali ke piano dan melanjutkan menulis.

Gerakan pertama simfoni itu selesai bahkan sebelum kota benar-benar terputus dari dunia luar. Namun kemudian, atas perintah Stalin, ia dan keluarganya dievakuasi ke Kuibyshev karena sang pemimpin tak ingin kehilangan aset budaya terbesar Soviet saat itu.

Di kota pengungsian itu, setelah sempat mengalami kebuntuan emosional, Shostakovich menyelesaikan simfoninya dalam waktu dua minggu. Hasil akhirnya adalah karya berdurasi lebih dari satu jam, dengan orkestra yang sangat besar, penuh lapisan emosi, ketegangan, dan harapan.

Lihat Juga :  Terasing di Rumah, Mendunia di Angka: Warisan Abadi Sophie Germain

Bagian yang paling mencolok adalah tema “invasi” dalam gerakan pertama yang dimulai dengan melodi halus yang berulang, lalu perlahan menjadi keras, mengancam, dan menusuk. Bagi pendengar, tema ini seperti suara musuh yang mendekat, lalu menghancurkan.

Beberapa menyebut Shostakovich sengaja menyindir Hitler dengan melodi dari operet favoritnya, namun sang komposer kemudian berkata bahwa simfoni ini tidak hanya tentang Nazi, tapi juga tentang semua bentuk kekuasaan yang menindas.

Stalin melihat potensi besar simfoni ini sebagai simbol ketahanan Soviet. Maka, partitur orkestra ini disalin ke mikrofilm, diterbangkan ke Teheran, dibawa melintasi Afrika, lalu ke London dan New York. Di Amerika Serikat, maestro Arturo Toscanini memimpin pertunjukan perdananya di Studio NBC, setelah berebut hak siar dengan konduktor lain, Leopold Stokowski.

Lihat Juga :  SK Trimurti; Dari Pena ke Perjuangan, Warisan Seorang Ikon Jurnalisme Perempuan

Pertunjukan ini disiarkan ke seluruh negeri dan mendapat sambutan meriah. Tapi bagi Shostakovich, versi ini terasa keliru dan terlalu dramatis. “Itu pekerjaan yang buruk dan ceroboh,” katanya dengan kecewa.

Namun pertunjukan yang paling bersejarah terjadi bukan di New York atau Moskow, melainkan di Leningrad sendiri. Pada 9 Agustus 1942, simfoni ini dimainkan di kota yang terkurung, tempat ia pertama kali ditulis. Sebuah orkestra darurat dibentuk dari para musisi yang masih hidup dan tentara yang bisa bermain musik. Mereka berlatih keras selama berminggu-minggu, meski tubuh mereka lemah karena kelaparan.

Pada hari pertunjukan, artileri Soviet meluncurkan serangan balik untuk meredam gangguan dari Jerman. Radio Leningrad menyiarkan konser itu ke seluruh kota. Penduduk berdiri, menangis, dan memberi hormat saat simfoni berakhir. Bagi mereka, musik itu bukan hanya hiburan, itu adalah pernyataan bahwa mereka belum menyerah.

Setelah perang usai, Simfoni Leningrad hidup sebagai lebih dari sekadar karya musik. Ia menjadi simbol bahwa bahkan di tengah kehancuran, manusia tetap bisa menciptakan sesuatu yang bermakna. Meski kini jarang dipentaskan karena panjang dan skala orkestra yang besar, simfoni ini tetap abadi sebagai suara perlawanan dari dalam sunyi dan nyanyian keberanian yang muncul dari tengah kelaparan.

Lihat Juga :  SK Trimurti; Dari Pena ke Perjuangan, Warisan Seorang Ikon Jurnalisme Perempuan

Shostakovich tak hanya mencatat sejarah melalui musiknya, ia mengukir filosofi yang lebih dalam, bahwa kekuasaan bisa menindas tubuh, tapi tak bisa membungkam jiwa. Bahwa teror bisa melumpuhkan kota, namun tak bisa menghentikan suara piano yang masih bermain dalam gelap.

Simfoni No. 7 bukan hanya tentang Nazi, bukan hanya tentang Leningrad, melainkan gambaran universal tentang keberanian dan tentang bagaimana seni mampu berdiri tegak di hadapan kekejaman. Di tengah reruntuhan, ia tidak berteriak, melainkan berbicara dengan kekuatan yang justru lahir dari kesenyapan. Dan karena itu, Simfoni Leningrad tetap menjadi pengingat bahwa, di masa ketika manusia nyaris kehilangan kemanusiaannya, irama yang harmonislah yang membuat kita tetap manusia. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos