Bukan Dongeng, Pengadilan Hewan Benar-Benar Terjadi di Masa Lalu

JAKARTA | Priangan.com – Di masa kini, ruang sidang identik dengan manusia yang diadili karena perampokan, perusakan, atau pembunuhan. Namun berabad-abad lalu, hal serupa bisa melibatkan terdakwa yang jauh lebih tak terduga, seperti seekor babi, ayam jantan, bahkan sekawanan tikus. Di Eropa antara abad ke-14 hingga ke-17, hewan-hewan ini benar-benar dibawa ke hadapan hakim, juri, dan proses hukum resmi, seolah-olah mereka mampu memahami kesalahan yang dituduhkan.

Fenomena aneh ini dikenal sebagai animal trials atau pengadilan hewan, sebuah tradisi yang kini terasa ganjil, tetapi pada masa itu dianggap wajar. Sebagaimana dilansir dari National Geographic, pengadilan hewan populer berlangsung di berbagai wilayah Eropa, terutama Prancis, Italia, dan Swiss, bahkan kemudian tercatat hingga Brasil, Kongo, dan Selandia Baru.

Masyarakat abad pertengahan memandang dunia sebagai tatanan kosmos yang ditetapkan Tuhan, dengan manusia sebagai pemimpin. Ketika seekor hewan menimbulkan bencana, contohnya seperti babi yang menyerang anak kecil, mereka percaya bahwa keseimbangan itu terganggu. Jalan keluarnya adalah melalui persidangan, yang dibuat sedemikian rupa menyerupai pengadilan manusia.

Tak jarang, hewan diberi pengacara pembela, sementara jalur pengadilannya pun terbagi dua, yaitu sekuler dan gerejawi. Sekuler untuk hewan ternak yang dimiliki manusia dan gerejawi untuk hama seperti tikus atau belalang yang dianggap berada di bawah kuasa Tuhan.

Salah satu kasus paling terkenal terjadi pada 1457 di Savigny, Prancis. Seekor babi betina bersama enam anaknya dituduh membunuh dan memakan seorang anak kecil. Catatan Book of Days karya Robert Chambers pada 1869 menceritakan bagaimana induk babi dinyatakan bersalah dan dihukum mati, sementara anak-anaknya dibebaskan karena masih terlalu muda dan tidak terbukti ikut terlibat.

Lihat Juga :  Kuli dalam Denyut Pariwisata Garut di Masa Kolonial

Babi memang menjadi terdakwa paling sering dalam sejarah. Di desa-desa Eropa, hewan ini biasa dibiarkan berkeliaran, tumbuh besar, dan kerap membahayakan anak-anak. Pada 1386 di Normandia, seekor babi bahkan digiring ke tiang gantungan setelah membunuh bayi. Hewan itu dipakaikan kemeja putih sebelum dieksekusi di depan kerumunan. Beberapa petani sengaja membawa babi mereka untuk menonton eksekusi, berharap hewan mereka belajar berperilaku baik.

Tidak hanya babi, hewan lain pun sempat diseret ke ruang sidang. Pada 1474 di Basel, seekor ayam jantan dijatuhi dakwaan karena bertelur, perilaku yang dianggap mustahil dan berhubungan dengan sihir. Pembelanya berargumen bahwa hal itu terjadi secara alami dan tidak disengaja, tetapi vonis tetap dijatuhkan. Ayam jantan itu dibakar bersama telurnya. Kasus ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh takhayul dalam pola pikir masyarakat kala itu.

Sementara itu, untuk hewan liar dan hama yang tak mungkin ditangkap satu per satu, pengadilan berlangsung secara simbolis. Hakim atau pendeta akan membacakan peringatan di ladang agar hama pergi.

Lihat Juga :  Bukan Cuma Palestina, Israel juga Pernah Serang Tunisia

Pada 1510, seorang pengacara bernama Bartholomew Chassenée membela tikus-tikus yang dituduh merusak tanaman. Karena para tikus tidak hadir di persidangan, ia beralasan bahwa hewan-hewan itu absen karena takut pada kucing yang berkeliaran di desa. Pengadilan pun kebingungan hingga akhirnya kasus dibatalkan.

Dalam beberapa peristiwa lain, hewan pengerat bahkan diberi “surat resmi” yang berisi peringatan untuk meninggalkan rumah warga. Pada 1519 di Stelvio, Italia, tikus mondok divonis “pengasingan” karena merusak tanaman. Namun pengacaranya berhasil meringankan hukuman dengan menyebut bahwa hewan itu juga bermanfaat bagi tanah. Semua ini, meskipun terdengar konyol bagi masyarakat modern, dahulu dianggap sah dan serius.

Lihat Juga :  Kembalinya PNI Pasca Kemerdekaan

Para sejarawan menilai bahwa pengadilan hewan bukan sekadar mencari pelaku. Ritual ini menjadi sarana masyarakat untuk menata kembali kehidupan setelah tragedi, serta menegaskan kewibawaan hukum.

Dalam sebuah artikel di The Journal of Law & Economics, ekonom Peter Leeson menambahkan bahwa pengadilan hewan juga memiliki motif ekonomi. Ia berpendapat, ketika gereja mengutuk hama, umat menjadi lebih patuh dan lebih bersedia membayar persepuluhan. Dengan kata lain, sidang hewan berfungsi sekaligus sebagai instrumen religius, sosial, dan finansial.

Praktik ini mulai meredup ketika Abad Pencerahan membawa pemikiran baru pada abad ke-18. Ilmu pengetahuan membuat orang sadar bahwa hewan tidak memiliki kesadaran moral seperti manusia, sehingga tidak masuk akal untuk menghukum mereka. Pada masa yang sama, konsep baru dalam hukum mulai berkembang, seperti penggunaan “kegilaan” sebagai pembelaan.

Namun jejak pengadilan hewan tidak sepenuhnya hilang. Pada 1906, seekor anjing di Swiss dieksekusi karena membantu perampokan berdarah. Pada 1920-an di Indiana, seekor simpanse diadili karena merokok di area bebas rokok saat pertunjukan sirkus. Bahkan pada 2008, seekor beruang di Makedonia dianggap bersalah karena mencuri madu, meski akhirnya pemerintah yang mengganti rugi lantaran beruang termasuk satwa dilindungi.

Kini, pengadilan hewan tampak seperti anekdot sejarah yang menggelitik. Tetapi, praktik ini menyimpan pesan penting, bahwa masyarakat abad pertengahan berusaha memahami tragedi dengan caranya sendiri, menata ulang keseimbangan, dan menegaskan keadilan dalam dunia yang penuh ketidakpastian. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos