Bravo! Ketika Daun Selada Menantang Tembakau

NEW JERSEY | Priangan.com – Pada tahun 1997, di tengah gelombang pengungkapan dan kemarahan publik terhadap industri tembakau, Puzant Torigian, seorang pengusaha asal New Jersey, Amerika Serikat,  memperkenalkan merek rokok baru bernama Bravo.

Rokok Bravo tidak mengandung tembakau sama sekali. Isinya adalah daun selada yang dikeringkan, diawetkan, diberi rasa herbal, lalu digulung menyerupai rokok biasa. Dalam materi pemasarannya, Bravo diklaim memiliki rasa mirip rokok pada umumnya, tetapi tanpa nikotin maupun tar berbahaya.

Torigian tidak sekadar menciptakan pengganti rokok. Ia ingin Bravo menjadi alat bantu berhenti merokok. Situs Bravo menyatakan bahwa produk ini memberi kepuasan psikologis dan fisik seperti saat merokok biasa, seperti membuka bungkus, menyalakan, dan mengisapnya.

Meski terdengar aneh bagi sebagian orang, Bravo merupakan bagian dari upaya panjang selama lebih dari satu abad dalam mencari alternatif tembakau. Sejak abad ke-17, kritik terhadap tembakau sudah bermunculan. Di Eropa, banyak yang mengeluhkan bau, rasa, hingga efek kesehatannya.

Sejak pertengahan abad ke-19, penemu Amerika mengajukan paten untuk rokok herbal dari bahan-bahan murah seperti batang jagung dan daun bunga matahari.

Pada akhir 1940-an, penelitian mulai mengaitkan tembakau dengan kanker paru-paru. Penemu seperti Jean U. Koree memimpin upaya menciptakan pengganti tembakau. Bahkan industri tembakau ikut melakukan riset alternatif demi menenangkan pelanggan, meski tetap menyatakan bahwa rokok aman.

Torigian memulai penelitiannya pada 1959. Setelah bertugas di Angkatan Laut AS dan meraih gelar farmakologi dari Universitas Columbia, ia bekerja di industri farmasi. Tantangan dari mentornya, Joseph Genovese, mendorongnya menciptakan rokok yang lebih aman.

Awalnya, Torigian hanya ingin mengganti tembakau. Namun, ia menyadari bahwa semua tanaman yang dibakar tetap menghasilkan tar berbahaya. Ia pun merancang Bravo sebagai alat berhenti merokok, bukan sekadar alternatif.

Lihat Juga :  Bagaimana Bencana Tambora 1815 Memicu Revolusi Transportasi

Menurut istrinya, Joanne, Torigian yakin selada adalah bahan terbaik karena mirip tembakau dan menghasilkan sedikit zat berbahaya.

Ia menguji lebih dari 200 jenis tanaman, termasuk daun tomat, kubis, dan bahkan rhododendron. Sebagian besar hasilnya membuatnya mual.

Namun, ia menemukan bahwa selada paling mendekati karakteristik tembakau.

Pada 1960, ia mengajukan paten untuk memproses sayuran hijau menjadi bahan rokok.

Torigian dan para investornya membuka pabrik di Texas dan memproduksi puluhan ribu bungkus Bravo per bulan. Ia bahkan hadir dalam sidang Komite Perdagangan Senat pada 1967 untuk mempromosikan Bravo dan mengecam industri tembakau yang tidak bertindak menyelamatkan konsumen. Ia mendorong upaya besar-besaran melawan nikotin.

Sayangnya, pada 1972, Bravo bangkrut. Torigian menyalahkan mitra bisnis dan logistik, sementara ahli sejarah industri tembakau, Louis M. Kyriakoudes, menilai bahwa produk Bravo memang sulit bersaing karena rasa dan bau yang dianggap tidak enak. Beberapa orang menyamakannya dengan mengisap kaus kaki tua.

Lihat Juga :  Tradisi Panjangkan Leher dengan Cincin Logam, Simbol Kecantikan Suku Karen di Thailand

Eksperimen pun terus berlanjut. Peneliti mencoba daun pisang, kelapa sawit, hingga kunyit, tetapi hasilnya tetap mengecewakan.

Industri tembakau berhenti mendanai riset alternatif pada pertengahan 1970-an, lebih fokus menyebarkan keraguan atas penelitian kesehatan dan mempertahankan pelanggan lewat nikotin.

Torigian tidak menyerah. Setelah kehilangan seluruh tabungannya, ia pindah ke Malaysia dan membantu mendirikan pabrik farmasi. Ia tetap bereksperimen, mematenkan alat pengering, enzim, dan proses baru demi Bravo 2.0. Ia percaya masih ada kebutuhan untuk alternatif seperti Bravo.

Meski FDA baru menyetujui permen karet nikotin pada 1984, kesadaran akan bahaya merokok terus meningkat. Konsensus medis menyatakan kombinasi pengganti nikotin dan terapi paling efektif untuk berhenti merokok. Namun, tidak semua orang punya akses ke solusi itu. Torigian yakin alternatif non-nikotin juga diperlukan.

Lihat Juga :  "Utang Kehormatan" dan Awal Mula Politik Etis: Sebuah Perspektif Sejarah yang Berliku

Bravo membantu Torigian berhenti merokok. Ia dan istrinya dulunya perokok berat, tetapi Bravo menjadi alat bantu pengganti yang ampuh bagi dirinya. Joanne berhenti setelah menyaksikan paru-paru perokok kronis di rumah sakit.

Saat Bravo diluncurkan ulang akhir 1990-an, Torigian menyertakan hasil studi yang menyebutkan bahwa rokok selada lebih aman dan bisa menekan keinginan merokok. Ia juga menyertakan strategi berhenti merokok dan pesan pemasaran untuk membujuk konsumen menerima rasa yang berbeda.

Peneliti seperti Wallace Pickworth menyatakan Bravo berguna sebagai kontrol dalam riset efek nikotin, tetapi mengakui bahwa rasa buruknya menjadi kendala. Meski begitu, Bravo sempat dijual di puluhan apotek hingga sekitar tahun 2010.

Beberapa testimoni menyebut Bravo membantu, meski studi menunjukkan efektivitasnya terbatas. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa Bravo bisa mengalihkan perhatian dari metode berhenti merokok yang lebih terbukti secara ilmiah. Penelitian juga menemukan bahwa asap selada membawa risiko tertentu, seperti logam berat dan tar.

Bravo perlahan menghilang dari pasar. Rokok herbal kini lebih dikenal sebagai produk gaya hidup atau properti film. Namun, keyakinan Torigian tetap hidup.

Beberapa negara di Asia seperti Tiongkok, Korea, dan Thailand, masih mematenkan rokok herbal dari teh, teratai, hingga sawi putih untuk membantu orang berhenti merokok.

Impian Torigian mungkin belum sepenuhnya padam. Joanne tetap berharap ada yang melanjutkan perjuangannya. “Akan luar biasa jika seseorang mencoba lagi,” katanya. “Jika itu bisa membantu orang berhenti merokok, mengapa tidak?”. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos