JAKARTA | Priangan.com – Pada Agustus 1899, dunia intelektual Hindia Belanda dihebohkan dengan artikel berjudul “Utang Kehormatan” yang diterbitkan dalam majalah sastra dan budaya De Gids. Artikel yang ditulis oleh seorang mantan pegawai negeri yang kemudian menjadi pengacara, Conrad Theodor van Deventer ini, bukan hanya sekadar tulisan biasa. Tetapi, sering dianggap sebagai sinyal awal lahirnya kebijakan politik etis yang kelak memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.
Van Deventer, yang menempuh pendidikan hukum di Leiden, awalnya mengamati dengan cermat situasi yang tengah berlangsung di Hindia Belanda. Pada masa itu, pemerintah kolonial menghadapi krisis keuangan yang serius akibat perang dan eksploitasi besar-besaran, salah satunya adalah Perang Aceh.
Utang pemerintah Hindia Belanda pada saat itu membengkak hingga mencapai 55 juta gulden—setara dengan sekitar 749 juta euro pada tahun 2020. Ditambah dengan beban pajak yang berat pada penduduk pribumi, Van Deventer merasa perlu untuk mengungkapkan akar masalah ini.
Dengan mengusulkan bahwa Belanda seharusnya mencontoh sistem pemerintahan Inggris yang lebih ‘berperikemanusiaan’, Van Deventer memaparkan betapa sistem kolonial yang eksploitatif telah menghancurkan masyarakat Hindia Belanda. Pandangannya ini membuka mata banyak pihak mengenai ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Hindia Belanda di bawah kekuasaan kolonial.
Tak hanya itu, artikel “Utang Kehormatan” juga mengangkat isu ketidakadilan sosial dan ekonomi, serta menyarankan perbaikan sebagai jalan keluar. Namun, ide Van Deventer ini tak hanya didorong oleh rasa kemanusiaan. Ia juga memandang perubahan tersebut sebagai kebutuhan strategis untuk mempertahankan stabilitas Belanda di tanah jajahannya.
Dengan kata lain, perbaikan kondisi masyarakat Hindia bukan hanya untuk kepentingan mereka, tetapi juga untuk mencegah munculnya perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Tak lama setelah artikel ini diterbitkan, para pemikir yang dikenal dengan sebutan ethiek seperti Van Deventer dan Multatuli mulai mengusulkan reformasi dalam kolonialisme Belanda. Mereka memperjuangkan perbaikan pendidikan, sistem perpajakan, dan pengentasan kemiskinan untuk masyarakat pribumi. Namun, kebijakan politik etis ini, meskipun sering dikaitkan dengan niat baik, tetap saja mencerminkan politik kolonial yang bertujuan mempertahankan kekuasaan Belanda.
Seiring waktu, kebijakan ini menuai kritik. Para penentangnya, seperti Mozes van Geuns dan Karel Wybrants, menganggap politik etis sebagai sebuah strategi untuk menjaga ketenangan dan stabilitas tanpa memberikan perubahan yang berarti bagi penduduk pribumi. Bahkan, ada yang menganggap kebijakan tersebut hanya sebagai penipuan moral, dengan tujuan untuk memperhalus citra kolonialisme Belanda.
Namun, terlepas dari berbagai kontroversi yang muncul, kebijakan politik etis tetap menghasilkan perubahan signifikan dalam masyarakat Hindia Belanda. Pendidikan yang lebih luas mulai diberikan kepada masyarakat pribumi, memberikan mereka akses untuk mengembangkan potensi diri. Generasi muda Hindia Belanda, yang mendapatkan pendidikan lebih baik, kelak menjadi garda depan perjuangan nasionalisme Indonesia.
Salah satu contoh nyata dari dampak positif politik etis adalah lahirnya tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Mohammad Hatta, yang mendapatkan pendidikan di Belanda dan kemudian menjadi wakil presiden Indonesia pertama. Pendidikan yang diperoleh oleh para pemuda ini menjadi dasar bagi kebangkitan semangat nasionalisme, yang pada gilirannya mendorong perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Artikel “Utang Kehormatan” karya Van Deventer, meskipun hanya selembar tulisan di majalah De Gids, memiliki dampak yang luar biasa dalam membentuk arah sejarah Indonesia. Kebijakan politik etis yang lahir dari pemikiran ini tetap merupakan kebijakan kolonial yang berlandaskan pada kepentingan Belanda, tetapi juga membawa dampak positif bagi perkembangan pendidikan dan kesadaran politik di kalangan rakyat Hindia Belanda. Meski banyak kritik terhadap penerapannya, kita tidak bisa menutup mata terhadap peranannya dalam menciptakan peluang bagi generasi muda Indonesia untuk menggali potensi dan memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagai bagian dari sejarah yang rumit dan penuh ambiguitas, “Utang Kehormatan” mengajarkan kita untuk melihat jauh ke dalam konteks sosial dan politik yang melatarbelakangi suatu kebijakan, dan bagaimana kebijakan tersebut dapat memberi dampak yang bertahan lama, meski dengan cara yang tak selalu lurus atau jelas. (mth)