TASIKMALAYA | Priangan.com – Konflik internal di tubuh birokrasi Pemerintah Kota Tasikmalaya kini memasuki babak baru. Ketua Fraksi PKB DPRD Kota Tasikmalaya, Asep Endang M. Syam, mengibaratkan kondisi perebutan jabatan eselon sebagai ajang “balapan liar” yang ugal-ugalan dan merusak tatanan.
“Saya melihat birokrasi saat ini tidak solid, terpecah-pecah. Ibaratnya, di Pemkot ini terjadi road race jabatan. Persaingan antar-eselon 2 berlangsung liar karena tidak ada sistem merit yang berjalan,” kata Asep dalam wawancara khusus di Priangan.com, Senin (1/7/2025).
Menurutnya, kekosongan jabatan yang dibiarkan terlalu lama menimbulkan ruang kompetisi yang tidak sehat. Ketika sistem tidak dijalankan secara objektif, maka yang terjadi justru dominasi manuver politik dan lobi-lobi.
“Kalau merit system jalan, maka siapa pun yang punya kompetensi dan nilai bagus akan naik dengan sendirinya. Tapi sekarang, yang berjalan itu jalur kedekatan. Cantel sana, cantel sini,” tegasnya.
Lebih dari itu, Asep mengungkapkan adanya pengaruh aktor-aktor eksternal terhadap kebijakan penempatan jabatan di Kota Tasikmalaya. Sosok yang disebut-sebut sebagai “Ibu Suri”, “Trio Egi”, hingga “Luhud versi lokal” menjadi perbincangan hangat di lingkungan ASN dan masyarakat.
“Kalau pun Wali Kota dipengaruhi oleh lingkaran dalamnya, itu bukan hal yang aneh dalam politik. Tapi jangan sampai itu mematikan profesionalisme birokrasi. Kita butuh orang-orang yang kompeten, bukan hanya yang dekat dengan kekuasaan,” ujarnya.
Asep juga menegaskan bahwa dirinya dan Komisi I DPRD sudah sejak akhir 2024 mengirimkan nota komisi agar reformasi birokrasi segera dilakukan. Namun hingga pertengahan 2025, belum ada perkembangan signifikan. Hal ini dinilai sangat berdampak pada kinerja pemerintahan.
“Kami sudah wanti-wanti. Ketika visi Wali Kota adalah Tasik Maju, maka birokrasinya harus maju. Jangan lelet. Ini masyarakat melihat bahwa di dalam pemerintahan saja tidak ada kejelasan arah,” ujarnya.
Isu Spanduk Sekda dan Ketegangan Internal
Salah satu indikasi konflik birokrasi yang paling kentara adalah munculnya spanduk-spanduk di berbagai titik yang menyuarakan dukungan atau penolakan terhadap nama-nama tertentu dalam jabatan Sekretaris Daerah. Asep menyebut, isu penggantian Sekda Asep Goparullah dengan Hendra, Kadis PUPR, menjadi wacana yang berkembang liar.
“Secara normatif, DPRD tidak menerima usulan apapun tentang pergantian Sekda. Tapi secara atmosfer, isu itu ada. Spanduk itu bagian dari dinamika yang justru bisa memperkeruh suasana,” ujarnya.
Ia menilai langkah tersebut berbahaya karena memperlihatkan kepada publik bahwa pemerintahan kota tidak solid dan saling sikut. Hal ini, menurutnya, akan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan, bahkan kepada ASN.
Rencana Interpelasi sebagai Bentuk Evaluasi
Ketidakpuasan terhadap lambannya pengambilan kebijakan, khususnya dalam penataan birokrasi, membuat DPRD Kota Tasikmalaya mempertimbangkan penggunaan hak interpelasi. Asep menyatakan bahwa interpelasi adalah langkah konstitusional untuk meminta keterangan dari kepala daerah.
“Jangan digiring ke isu pemakzulan. Interpelasi itu investigasi. Kita ingin tahu kenapa lambat, apa hambatannya, dan bagaimana solusinya,” ujar Asep.
Menurutnya, reformasi birokrasi adalah jantung dari janji politik Wali Kota. Ketika RPJMD dan struktur perangkat tidak segera dibentuk, maka arah pembangunan kota menjadi tidak jelas.
Kritik Bukan Kebencian: Hak Demokrasi yang Harus Dihormati
Menanggapi tudingan bahwa kritik terhadap wali kota dianggap sebagai serangan politik atau kebencian, Asep menegaskan bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Ia bahkan menyebut bahwa dirinya tidak pernah merasa diintimidasi secara langsung, tetapi ada dinamika diplomatis yang mengarah ke pembatasan ruang kritik.
“Kritik itu gizi demokrasi. Jangan dimusuhi. Kita di DPRD tidak punya niat menjatuhkan, tapi kita ingin kota ini berjalan dengan baik. Kalau reformasi birokrasi jalan, semua akan terbantu,” tegasnya.
Asep berharap agar Wali Kota segera mengambil langkah konkret dan menyudahi tarik-menarik kepentingan yang justru merugikan pelayanan publik. Ia juga menegaskan bahwa rakyat menunggu bukti, bukan lagi janji.
“Tasik harus dikelola dengan manajemen modern. Jangan sampai publik melihat ini seperti drama birokrasi tanpa arah. Ini bukan soal Wali Kota atau DPRD, tapi soal tanggung jawab terhadap masyarakat,” pungkasnya. (yna)