JAKARTA | Priangan.com – Di tengah kebhinekaan yang menghiasi nusantara, Indonesia memiliki semboyan yang sangat berarti: “Bhineka Tunggal Ika,” yang diterjemahkan sebagai “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” Motto ini bukan hanya sebuah frasa, melainkan manifestasi dari komitmen bangsa untuk merajut keberagaman yang luas menjadi sebuah kesatuan yang harmonis.
Frase “Bhineka Tunggal Ika” berakar dari Sutasoma, sebuah kakawin atau puisi epik Jawa yang ditulis oleh Mpu Tantular pada abad ke-14. Dalam karya agung ini, Mpu Tantular menekankan bahwa perbedaan—baik dalam agama, budaya, maupun kepercayaan—merupakan bagian dari kesatuan yang harmonis.
Saat itu, Majapahit, di bawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk, adalah pusat kebudayaan yang gemerlap dengan berbagai etnis dan agama. Mpu Tantular, dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya, menyoroti sebuah prinsip sederhana namun mendalam: meskipun masyarakatnya terdiri dari berbagai latar belakang, mereka tetap bersatu dalam harmoni. Frase tersebut bukan hanya sebuah ungkapan, tetapi juga cerminan dari realitas kehidupan sehari-hari di kerajaan yang penuh warna itu.
Bertahun-tahun berlalu, Indonesia meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda pada tahun 1945. Negara yang baru lahir ini, yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, dan beragam budaya, membutuhkan suatu prinsip yang mampu menyatukan keberagaman yang luas. Dalam konteks ini, “Bhineka Tunggal Ika” tidak hanya diambil sebagai semboyan, tetapi diangkat sebagai prinsip dasar yang membangun fondasi negara.
Presiden Soekarno, salah satu pendiri bangsa, memandang semboyan ini sebagai kunci untuk membangun persatuan di tengah keragaman. Dalam pidatonya yang bersemangat di hari-hari awal kemerdekaan, ia sering mengulang-ulang prinsip ini sebagai pengingat bahwa meskipun bangsa ini beraneka ragam, mereka harus tetap bersatu dalam tujuan yang sama. Semboyan ini kemudian diabadikan dalam Lambang Negara, Garuda Pancasila, sebagai simbol kekuatan dan kesatuan bangsa.
Namun, perjalanan menuju persatuan bukanlah tanpa hambatan. Dalam kehidupan sehari-hari, tantangan seringkali muncul—konflik antar kelompok, ketidakadilan, dan perbedaan ideologi. Misalnya, ketika pembangunan infrastruktur besar-besaran dimulai di berbagai daerah, sering kali terjadi ketegangan antara kebutuhan lokal dan prioritas nasional. Di sinilah “Bhineka Tunggal Ika” berfungsi sebagai panduan yang mengarahkan pemerintah dan masyarakat untuk mencari solusi yang adil dan inklusif.
Di suatu desa kecil di Pulau Sumatra, misalnya, terdapat sebuah sekolah yang menyambut murid dari berbagai etnis dan agama. Kepala sekolah, Ibu Sari, percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengajarkan nilai-nilai persatuan. Setiap hari, dia mengajarkan murid-muridnya tentang keragaman budaya dan pentingnya saling menghormati. “Bhineka Tunggal Ika,” katanya kepada para siswa, “adalah tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan, belajar dari perbedaan kita, dan tumbuh bersama.”
Di tengah keragaman yang terus berkembang, prinsip Bhineka Tunggal Ika tetap relevan dan vital. Sebuah festival budaya tahunan di Jakarta, yang menampilkan tarian dan musik dari seluruh Indonesia, adalah contoh nyata bagaimana semboyan ini dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam festival tersebut, ribuan orang berkumpul untuk merayakan kekayaan budaya mereka, sambil menyadari bahwa persatuan dalam keberagaman adalah kekuatan mereka.
Meskipun perjalanan untuk mewujudkan persatuan dalam keragaman ini penuh dengan tantangan, semangat Bhineka Tunggal Ika tetap hidup. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah frasa kuno yang ditulis di bawah pohon beringin di Jawa, terus memandu dan menginspirasi sebuah bangsa yang luas dan beragam. Dalam setiap langkah, dari zaman Majapahit hingga era modern, prinsip ini berfungsi sebagai pengingat bahwa dalam perbedaan terdapat kekuatan, dan dalam persatuan terdapat kedamaian.
Begitulah, Bhineka Tunggal Ika, dari jejak sejarahnya yang mendalam hingga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, terus menjadikan Indonesia sebagai contoh dunia dalam merayakan dan mengelola keberagaman. Seperti yang telah diajarkan oleh Mpu Tantular, persatuan bukan hanya tentang menyatukan perbedaan, tetapi tentang merayakannya sebagai bagian dari kekuatan kolektif. (mth)