GARUT | Priangan.com — Puluhan ribu hektare hutan di Kabupaten Garut kini berada dalam kondisi kritis. Kondisi ini meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, hingga kekeringan, yang kini semakin sering melanda berbagai wilayah.
Menurut data yang dihimpun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari Kantor Cabang Dinas Kehutanan Jawa Barat, sedikitnya 87 ribu hektare lahan di Garut telah dikategorikan sebagai lahan kritis.
Fakta ini diungkap Ketua Yayasan Tangtudibuana, Ebit Mulyana, saat audiensi dengan Panitia Khusus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DPRD Garut, Senin (28/7/2025).
“Ini penyebab utama mengapa Garut masuk wilayah dengan tingkat ancaman bencana hidrometeorologi yang sangat tinggi,” ujar Ebit.
Ia menjelaskan bahwa bencana hidrometeorologi tidak hanya terbatas pada banjir dan longsor. “Dampaknya meluas ke kekeringan, gagal panen, hingga terancamnya ketahanan pangan masyarakat,” jelasnya.
Ironisnya, dalam visi-misi kepala daerah Garut saat ini, tidak ditemukan langkah konkret untuk menghadapi ancaman ini. “Dalam poin ke-6, disebutkan soal pelestarian sumber daya alam. Tapi tidak ada program mitigasi bencana yang jelas, apalagi menyentuh soal kerusakan hutan,” tambahnya.
Ebit menilai, ketiadaan program tersebut berisiko besar bagi keberlangsungan pembangunan. Sebab, jika bencana terjadi, berbagai sektor seperti infrastruktur, pendidikan, pertanian, hingga ekonomi akan terdampak langsung. “Semua yang sudah dibangun bisa hancur dalam sekejap saat bencana datang,” katanya.
Yayasan Tangtudibuana sendiri telah melakukan pemetaan terhadap kerusakan hutan di Garut, terutama kawasan tangkapan air dan hulu-hulu sungai seperti Sungai Cimanuk. Dari temuan itu, Ebit menilai penting bagi pemerintah daerah untuk ikut ambil peran dalam pengelolaan hutan, terutama kawasan yang selama ini terbengkalai dan tidak terurus.
“Salah satu langkah konkret yang bisa diambil adalah meminta hak kelola kawasan hutan dari pemerintah pusat, khususnya hutan-hutan strategis,” katanya.
Ebit mencontohkan pengelolaan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Dago yang saat ini dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Menurutnya, Pemkab Garut juga bisa melakukan hal serupa, seperti pada kawasan hutan Gunung Mandalagiri, yang merupakan hulu Sungai Cimanuk namun kini dikuasai oleh BUMD Pemprov dan Perhutani.
“Kawasan ini seharusnya menjadi prioritas, karena menyangkut sistem air yang menopang kehidupan warga Garut secara keseluruhan,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa penyebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi adalah rusaknya fungsi hutan akibat perubahan lahan secara masif.
“Selama hutan terus dibiarkan rusak, bencana akan terus datang. Solusinya adalah mengembalikan fungsi hutan melalui penanaman kembali, pengelolaan yang jelas, dan pengawasan yang serius,” ujarnya.
Ebit mengingatkan, bahwa tanpa intervensi langsung dari Pemkab Garut, upaya menyelamatkan lingkungan akan sia-sia.
“Kalau pemerintah daerah tidak ikut turun tangan, siapa lagi yang akan melindungi hutan kita?” pungkasnya. (Az)