Batik Lasem, Jejak Perdagangan dan Warisan Budaya Lintas Zaman

JAKARTA | Priangan.com – Peringatan Hari Batik Nasional kembali menjadi momen refleksi atas warisan budaya bangsa. Di antara ragam corak yang dikenal masyarakat, Batik Lasem menempati tempat tersendiri. Dari selembar kain bercorak merah khas, tersimpan cerita panjang tentang perdagangan, interaksi budaya, hingga identitas sebuah kota pesisir di Jawa Tengah.

Lasem, kota kecil di Kabupaten Rembang, sejak lama dikenal sebagai pelabuhan penting. Catatan kronik Tiongkok menyebut wilayah ini menjadi persinggahan perantau dari Fujian dan Guangdong. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jumlah warga Tionghoa yang bermukim di Lasem bahkan menempati posisi ketiga terbanyak di Hindia Belanda setelah Batavia dan Semarang. Karena itu, Lasem dijuluki “Tiongkok Kecil.” Dari perjumpaan budaya Jawa dan Tionghoa inilah Batik Lasem lahir sebagai karya seni tekstil bernilai tinggi.

Tradisi membatik di Lasem diyakini telah berlangsung sejak abad ke-15. Menurut catatan, Na Li Ni, putri Campa yang menikah dengan salah satu anggota ekspedisi Cheng He, memperkenalkan teknik membatik kepada masyarakat setempat. Seiring waktu, aktivitas membatik tumbuh menjadi denyut perekonomian kota.

Puncaknya terjadi pada 1860-an, ketika usaha batik yang dikelola keluarga Tionghoa berkembang pesat. Ribuan pekerja terlibat dalam industri ini, baik di bagian artistik maupun produksi. Batik Lasem menjadi komoditas utama, menyaingi perdagangan candu yang marak kala itu.

Jaringan perdagangan Batik Lasem tidak berhenti di pasar lokal. Catatan sejarah menunjukkan kain-kain Lasem menembus pasar internasional, mulai dari Singapura hingga Sri Lanka. Bukti tersebut masih tersimpan dalam arsip surat dagang yang kini dipamerkan di Museum Nyah Lasem. Salah satunya berasal dari Madras Loebis, pemilik Batik Handel di Sibolga, yang pada 16 Maret 1928 menulis kepada Nyonya Liem Kioe An di Lasem: “Itoe satoe potong saroeng, boeat persen, soedah saja trima. Dan saja matoer trima kasih… saja harep persamboengan dagang kita aken troes.”

Lebih menarik lagi, sebagian surat menggunakan sandi khusus dengan kosakata batik. Peneliti Yayasan Lasem Heritage, Agni Malagina, menjelaskan penggunaan kata seperti “GADOENG” yang berarti harapan harga sarung turun, atau “DJAMBON” yang menunjukkan pasar sedang ramai. Sandi itu menjadi bukti ketatnya persaingan dagang saat itu.

Lihat Juga :  Rahasia Gelap di Balik Suntikan: Kasus Vaksin Tetanus yang Merenggut Nyawa

Keunikan Batik Lasem juga tampak pada warna merah khas yang disebut getih pitik atau darah ayam. Warna ini muncul dari campuran bubuk pewarna impor Eropa dengan air Lasem yang memberi rona berbeda dari daerah lain. Motifnya sarat simbolisme, mulai dari kupu-kupu sebagai lambang kecantikan, peoni sebagai keindahan, burung hong yang melambangkan kemuliaan, hingga watu kricak yang merekam pembangunan Jalan Raya Pos pada era Daendels.

Lihat Juga :  Rahasia Gelap di Balik Suntikan: Kasus Vaksin Tetanus yang Merenggut Nyawa

Namun, kekayaan tradisi ini menghadapi tantangan. Sebagian besar motif diwariskan hanya melalui ingatan para pembatik senior. Hilangnya generasi pembatik kerap membuat pengetahuan ikut lenyap. Menyadari hal itu, tim peneliti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia melakukan pendataan. Dari 11 rumah batik di kawasan Kota Tua Lasem, tercatat 114 motif tunggal, terdiri dari 50 motif asli dan 64 motif hasil akulturasi Jawa-Tionghoa. Jumlah ini diperkirakan bisa bertambah jika seluruh rumah batik di Rembang diteliti lebih jauh.

Harapannya, generasi muda dapat melihat Batik Lasem bukan sekadar kain bercorak, tetapi juga warisan sejarah, identitas budaya, sekaligus saksi perjalanan perdagangan global. Dari masa kejayaan pada abad ke-19, keterpurukan di tahun 1970-an, hingga upaya kebangkitan saat ini, Lasem tetap menorehkan cerita peradaban dalam tiap helai batiknya. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos