JAKARTA | Priangan.com – Perayaan tahun baru Imlek selalu identik dengan nuansa merah. Berbagai atribut, mulai dari dekorasi rumah, pakaian, hingga lilin, semuanya pasti bercorak merah. Tak cuma itu, imlek juga identik dengan barongsai.
Ya, acapkali imlek datang, pagelaran barongsai selalu hadir dan mewarnai kemeriahan di setiap tempat. Konon, di balik penggunaan barongsai yang sangat ikonik itu, ada legenda kuno tentang monster buas yang kerap meneror manusia.
Lantas, seperti apa kisahnya?
Diceritakan, pada zaman dahulu kala hiduplah seekor monster bernama Nianshou. Nama ini berkaitan dengan istilah Imlek dalam bahasa mandarin yang dikenal dengan Guo Nian. Guo Nian sendiri punya arti sebagai Monster Nian.
Konon, monster tersebut punya rupa yang amat menakutkan. Tubuhnya panjang, wajahnya menyerupai seekor singa namun punya tanduk yang tajam. Ia tinggal di kedalaman laut dan hanya akan naik ke permukaan pada malam tahun baru untuk berburu mangsa.
Ironisnya, Nianshou tidak memburu hewan, ia memangsa manusia sebagai makanan utamanya. Hal ini tentu saja membuat para penduduk desa ketakutan. Walhasil, saat tahun baru tiba, mereka kerap meninggalkan desa dan mengungsi ke wilayah pegunungan.
Namun, dalam satu malam perayaan tahun baru imlek, ada seorang penduduk desa berusia renta yang lebih memilih untuk tinggal di rumah alih-alih ikut bersama warga desa mengungsi ke wilayah pegunungan. Pria memutuskan untuk tinggal lantaran hendak mencoba melawan Nian yang selama ini bikin risih warga desa.
Sehari sebelum malam perayaan, pria tua itu memutuskan untuk mengecat rumahnya dengan warna merah. Tak hanya itu, ia juga menempelkan kertas merah di setiap pintu rumah dan membuat banyak lodong bambu.
Saat malam perayaan tiba, lodong bambu yang sudah ia persiapkan itu kemudian dinyalakan hingga suaranya memekakan telinga. Benar saja, ketika Nian mendatangi desa itu untuk mencari mangsa, ia malah lari ketakutan. Tak diketahui pasti apa yang menyebabkan hewan buas itu lari terbirit-birit, entah karena suara lodong bambu, atau melihat nuansa yang serba merah. Yang jelas, pria tua tersebut berhasil mengusir monster mengerikan itu dari desa tersebut.
Warga setempat yang kembali ke rumah pasca perayaan, dibuat kaget saat melihat kondisi desa yang masih utuh. Tak ada tanda-tanda kerusakan yang biasanya dilakukan oleh Nian saat mencari mangsa. Mereka pun akhirnya mengetahui kalau pria tua itulah yang berhasil mengusir hewan tersebut.
Pada malam tahun baru berikutnya, para penduduk desa mencoba menerapkan hal yang sama. Alih-alih mengungsi ke wilayah pegunungan seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya, sehari sebelum perayaan warga desa malah sibuk mendekorasi rumah mereka dengan warna merah, menempelkan kertas merah di setiap pintu, dan menyalakan lilin di dalam rumah.
Lodong bambu yang dibuat pun lebih banyak. Karena hampir setiap warga konon membuatnya. Saat malam tiba, meski masih ada ketakutan yang menerpa ternyata mereka berhasiln lolos dari maut. Hewan buas Nian tak berani memangsa warga.
Sejak itu, cara-cara tersebut dilakukan dan menjadi tradisi dalam Imlek yang dilakukan hingga saat ini. Bedanya, jika dulu memakai lodong bambu, kini masyarakat modern menggantinya dengan petasan karena dinilai jauh lebih efisien. Sementara pagelaran barongsai, dilakukan sebagai pengingat sekaligus penggambaran nyata dari makhluk nian yang diyakini pernah hidup di masa silam.
Selain kisah di atas, ada juga versi lain yang berkaitan dengan sejarah barongsai. Pada zaman Dinasti Tang yang berkuasa pada 618-906 M, misalnya. kala itu, seorang Kaisar di dinasti tersebut konon bermimpi bertemu dengan seekor hewan menyerupai singa, tetapi punya warna tubuh mencolok.
Mimpi itu kemudian ditafsirkannya sebagai simbol keberuntungan. Tak lama setelah mengalami mimpi tersebut, ia memerintahkan para budaknya untuk membuat wujud makhluk yang dimimpikannya. Konon, berasal dari sanalah asal muasal pagelaran barongsai pertama kali muncul.
Hingga saat ini, penggunaan barongsai masih dipertahankan dan menjadi pelengkap dalam setiap perayaan hari raya Imlek. (ersuwa)