Antara Tugas dan Dusta: Jejak Gelap Polisi Rahasia Klaten Abad Ke-19

KLATEN | Priangan.com – Ketika gedung-gedung pemerintahan dibakar, jalanan dipenuhi demonstran yang marah, dan rakyat kehilangan kepercayaan pada aparat, kita seperti sedang menyaksikan sejarah berulang. Kekacauan sosial akibat ketidakadilan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan bukanlah hal baru di negeri ini. Lebih dari seratus tahun lalu, tanah Jawa juga pernah mengalami masa ketika kejahatan dan aparat hukum justru berjalan beriringan, meninggalkan masyarakat dalam lingkaran ketakutan sekaligus kebingungan.

Kisah itu ditulis dalam surat kabar De Locomotief edisi 4 November 1889, dan baru-baru ini diulas kembali oleh National Geographic Indonesia. Tokohnya adalah Yoedo Prawiro atau dalam ejaan sekarang, Yudo Prawiro. Ia merupakan seorang polisi rahasia di Klaten. Alih-alih menumpas kejahatan, ia justru bersekongkol dengan para pencuri yang kala itu dikenal dengan sebutan kecu. Pada masa itu kelompok ini kerap membuat resah masyarakat di wilayah Vorstenlanden, daerah kekuasaan kerajaan Jawa yang meliputi Surakarta dan Yogyakarta.

Awalnya, Yoedo dipercaya oleh Bupati Klaten, Raden Mas Tumenggung Mangoen Koesoemo, untuk menyusup ke dalam jaringan pencuri. Tugasnya adalah membongkar pesta-pesta kecu yang sering digelar untuk membagi hasil rampasan.

Namun, kesempatan itu justru dipakai untuk mencari keuntungan pribadi. Barang-barang hasil curian ia tampung, lalu dijual murah kepada orang kaya atau bangsawan pribumi di Yogyakarta. Setelah transaksi terjadi, Yoedo melaporkan bahwa barang curian ada di rumah sang pembeli. Polisi pun menggeledah dan menangkap pembeli yang tidak tahu-menahu.

Di sinilah kelicikan Yoedo semakin menjadi. Ia kemudian datang lagi kepada pembeli yang sudah ditahan, menawarkan kebebasan asal bersedia membayar tebusan. Jumlahnya tidak kecil, berkisar antara 150 hingga 500 gulden, sangat besar nilainya untuk masa itu. Dengan cara ini, Yoedo tidak hanya meraup keuntungan dari penjualan barang curian, tetapi juga dari uang tebusan orang-orang yang dijebaknya sendiri.

Lihat Juga :  Alaska: Negeri Amerika dengan Jejak Rusia, di Persimpangan Sejarah

Aksi ini berjalan mulus sampai akhirnya terendus oleh Van der Bor, mantan asisten residen Klaten. Setelah dilakukan penyelidikan, Yoedo terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun kerja paksa. Hukuman tersebut seharusnya menjadi akhir dari sepak terjangnya. Namun, setelah bebas, ia justru kembali diangkat sebagai polisi rahasia. Entah karena kelalaian atau kebutuhan aparat, posisinya itu ia gunakan lagi untuk mengulangi trik lamanya.

Yoedo kembali hadir dalam pesta-pesta kecu di berbagai daerah seperti Ngoepit, Djabon, Morangan, Grogolan, hingga Tegalyosso. Ia tetap menjadi perantara para pencuri untuk menjual hasil rampasan, tetap menjebak para pembeli, dan tetap menawarkan kebebasan dengan tebusan uang. Para pencuri tidak merasa dirugikan. Bagi mereka, menyerahkan barang curian kepada Yoedo lebih aman daripada mengambil risiko. Selain memberi keuntungan, Yoedo juga seolah memberi perlindungan dari hukum.

Lihat Juga :  Alaska: Negeri Amerika dengan Jejak Rusia, di Persimpangan Sejarah

Namun, keadaan berubah ketika salah seorang kecu merasa dibayar terlalu rendah. Pencuri itu akhirnya berkhianat dan melaporkan Yoedo kepada aparat lain. Penyelidikan khusus dilakukan. Seorang petugas polisi bahkan ditugaskan hanya untuk mengawasi Yoedo. Hasilnya jelas, Yoedo terbukti mengulangi kejahatannya. Ia pun dijatuhi hukuman jauh lebih berat, yakni dua puluh tahun kerja paksa dengan rantai.

Penangkapan Yoedo membuat jaringan kecu lumpuh. Selama dua tahun setelahnya, hampir tidak ada perampokan besar yang tercatat.

Tetapi keadaan kembali bergejolak ketika Residen Mullemeister membebaskan delapan puluh gelandangan, termasuk Yoedo Prawiro, yang sebelumnya ditangkap Residen Van Baak. Kebebasan itu bertepatan dengan gagal panen padi di wilayah Solo, membuat harga beras melonjak tinggi. Keadaan ini mendorong meningkatnya aksi perampokan, dari Kartasura hingga Klaten, bahkan sampai desa Djamoor dekat Gawok, Sukoharjo. Pada awal Agustus, rumah seorang janda bernama Van Muijen pun ikut menjadi sasaran.

Lihat Juga :  Paruh Panjang, Harapan Pendek: Kostum Seram Dokter di Tengah Wabah Tanpa Jawaban

Sejak itu, semua orang kembali menaruh curiga pada Yoedo. Namanya kembali disebut-sebut, meski catatan kolonial tidak pernah lagi mencatat dengan jelas bagaimana akhir hidupnya. Riwayatnya seolah hilang begitu saja di balik gelapnya arsip sejarah.

Kisah ini bukan sekadar cerita menarik tentang polisi ditangkap polisi di masa lalu. Namun, ini juga menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum pada masa kolonial, ketika hukum bisa dipermainkan demi keuntungan pribadi. Yoedo Prawiro adalah gambaran ironi seorang polisi rahasia yang seharusnya menumpas pencuri, tetapi justru menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. (LSA)

Lain nya

Latest Posts

Most Commented

Featured Videos